Transkrip - Episode 6 - Zahra Amalia Syarifah
K (Kiki): Hai semuanya, welcome back to Kartini Teknologi bersama Kiki dan Galuh di sini. Dan ya, kita udah kedatangan satu guest yang seru banget kayaknya, dan ini juga kayak episode kemarin, kita rekam secara langsung, jadi mungkin bakal banyak noise, sorry. Tapi ya semoga aja lancar ya semuanya sampai akhir. Well anyway, Galuh mau kenalin sedikit tentang guest ini? Soalnya ini yang kasih usul nih Galuh. “Kak, ayo yuk kita undang kak ini,” “eh iya kayaknya seru deh, yuk yuk.” Kebetulan, ini banget ya, kayak coincidentally, aku lagi di Jogja habis liburan, terus juga Galuh lagi liburan di Jogja, dan kita sama sekali nggak janjian, terus ternyata mbaknya ini juga stay-nya di Jogja. Yaudah, mumpung pas semuanya bertiga bisa ketemu, ya kita akhirnya rekam bareng hari ini.
G (Galuh): Iya jadi waktu itu aku kan lagi browsing di Twitter nih, terus waktu itu ketemu tweet-nya Kak Ligwina kan, tentang… kalau nggak salah perempuan dan skincare. Terus aku seneng banget sih ngeliat thread itu, karena waktu itu kan ada tweet orang yang kaya ngomongin, ngapain sih pake skincare iya nggak sih? Atau something something… sama make-up, terus dibales dengan tweet yang empowering banget, dan ngeliat perempuan yang… istilahnya… bisa jalan juga skincare-nya, make-up-nya, hobinya, karirnya, dengan berbagai macam bentuk hobinya segala macem…
Z (Zahra): Dan mereka bayar sendiri…
G: Dan aku come across tweet-nya guest kita hari ini. Menurutku keren banget sih profilenya. Social researcher, lagi PhD, dan yang menarik buat aku dia pake Python dan R untuk research-nya juga. Dan itu menurut aku keren banget sih karena aku suka banget ngeliat orang yang ada di intersection between technology, terus juga social sciences… dan banyak field lainnya dan itu menarik banget sih. Jadi aku mikir wah keren banget nih dan menarik banget buat dibahas. Dan menurutku juga banyak banget pasti temen-temen nggak cuma di IT, tapi misalnya di social sciences field, mungkin tertarik juga untuk denger gimana sih kita bisa pake IT di bidang kita? Kayak gitu, nah mungkin kita juga bisa eksplor itu di sini. Gitu.
K: Jadi buat temen-temen yang sama background-nya di social sciences, mungkin ini bisa menginspirasi kalian. So without further ado, kita suruh aja kali ya guest star-nya untuk memperkenalkan diri lebih dalam lagi. Silakan Kak Zahra.
Z: Aku Zahra Amalia Syarifah, panggil aja Zahra, it’s a lot easier, it’s a lot shorter, and I prefer it that way. Aku asli orang Solo, tapi karena bapak orang Lampung, so if someone asks me where are you from, I would say that I’m from Lampung. Tapi ya gede di Solo, bisa Bahasa Jawa, medok bisa. Tapi, selesai SMA aku pindah ke UK, kuliah di sana, udah itu lulus S1, aku S2 di US. And… I would call myself a sociologist. Why am I a sociologist? Because sociologists, we ask things that people are not supposed to ask, we ask things that people are taking for granted. Dan itu rewarding sih, ketika kita nanya sesuatu yang nggak kepikiran gitu, tapi kita dapat jawaban yang, oh gitu ya. Seru sih, seru. It’s a puzzle to crack, it’s a lot of fun.
K: Oke, kita mungkin start dari education-nya dulu kali ya. Tadi kan udah kasih tau nih dulu kuliah di UK, mungkin ceritain dong dulu, pas dari sarjana terus abis itu S2, dan sekarang kalau nggak salah lagi ambil PhD juga kan ya. Bisa diceritain lebih dalem nggak?
Z: Jadi aku tuh sebenarnya, karena aku anak tua kan di keluarga, selalu tuh orang tua bilangin, kamu tuh harus sukseslah, harus jadi contoh adek-adeknya. Pengen lah masuk PTN tapi aku tau diri, matematika nggak bisa, terus aku juga bukan anak IPA yang kayak bagus banget gitu, terus aku emang prefer-nya dari dulu social sciences, kayak waktu penjurusan pilihnya IPS gitu kan. Terus matematika tuh waktu aku keluar dari SMA, aku inget banget gurunya bilang gini, Zah, kamu tuh kalau ngejawab soal matematika nggak pernah bener kecuali ada rupiahnya. Ya udah gitu, berarti ya… ada basis angka-angka dikit berarti, means that I just have to find something that pique my interest, dan ternyata interest aku social sciences, di sosiologi kan. Pertamanya waktu kuliah itu aku daftarnya media and information studies, bosen, di kelas aku tidur terus. Terus namanya orang tua pengen anaknya sukses, udah kamu daftar bisnis aja. Terus aku pindah ke bisnis. Ah… kayaknya ada yang kurang gitu kan. Akhirnya aku nyoba-nyoba masuk kelas sosio, dan akhirnya tahun pertama aku officially mahasiswa sosiologi dan business management.
K: Itu tuh berarti double major?
Z: Iyah, double major, sebenarnya satu program sih, cuma aku ngejalanin kelas sosio sama bisnis, gitu. Ya ngejalanin tuntutan orang tua di satu sisi, tapi on the other hand, that’s my calling, that’s what I like. Aku juga ngambil kayak politik gitu kan waktu kuliah, dan ternyata disertasi aku akhirnya politik-sosiologi, sociological politics, membahas tentang relawan politik di Indonesia. Waktu itu waktu pilpres ya, yang lagi rame-ramenya buzzer, lagi naik daun, lagi rame banget, siapa sih buzzer itu…
G: Baru mulai sosmed, mulai ini nggak sih… tahun berapa tuh… pas yang pemilu…
K: Pemilu-nya Pak Jokowi…
G: Yang pertama-tama?
Z: Iyah, waktu itu metodologinya masih etnografi, jadi yang literally dateng, nanya orang, ngerekam berjam-jam, habis itu ditranskrip. Literally waktu undergrad itu aku nggak nyentuh angka sama sekali, because I know I’m bad with numbers gitu. Terus aku pengin lanjut S2 kan habis itu, aku lanjut di University of Chicago dan aku sadar kayanya kalau aku nggak ngambil quanti di titik ini kayaknya aku nggak akan pernah…
K: Quanti itu apa?
Z: Kuantitatif. Jadi kan kalau riset itu ada dua, kualitatif yang lebih kayak kata-kata gitu, atau pemaknaan… cuma kalau kuantitatif kan berarti yang kayak, main statistik, main-main angka, gitu-gitu sih.
K: Dari situ ya?
Z: Iya, akhirnya maksain gitu. Sebenarnya cuma disuruh ngambil satu kelas metodologi waktu S2. Cuma aku kaya, nggak nggak nggak, ini kayaknya saatnya aku nyoba bener-bener, ya belajarlah dari orang-orang. Maksudnya yang kayak ahlinya network analysis, ahlinya computational social sciences, ahlinya machine learning, statistik… dan itu dalam satu tahun bener-bener I have to fake it until I make it karena temen-temen sekelas aku tuh kayak yang pinter-pinter gitulah, yang udah nulis paket Python sendiri, habis itu kayak… aaaah kayak udah panik tapi ya udahlah ya.
G: Berarti itu ngambil… emang ada kelasnya, atau bener-bener belajar sendiri?
Z: Ada kelasnya, cuma namanya kelas kan pasti kita tuh dikasihtau ya bare minimum, gimana kamu tuh bisa punya bekel untuk belajar sendiri. Jadi ya, ambil kelas untuk bisa, bisa… tapi in the end it’s up to you gitu. Mulai dari 0, jadi aku rasa coding itu it doesn’t matter if you have nothing at the start, you just need to be a hustler. Kayak ya udahlah, maksa aja gitu. Pura-pura bisa sampe bener-bener bisa.
K: Berarti baru pas S2 itu ya belajar coding.
Z: Iya.
K: Terus yang PhD ini ambil apa?
Z: Aku masuknya sosiologi nih sekarang, jadi aku ambil PhD sosiologi, dapet offer dari University of California San Diego. Itu di statement-nya waktu aku apply juga aku bilang, aku ingin ngelanjutin intersection of computation and social sciences. Dan di sana ternyata ada lab untuk cognition language and computation. Jadi kayaknya, ya udah jodoh.
G: Pas banget ya berarti.
Z: Di kampus yang lama aku juga ditolakin gitu, berarti emang… ya udah, rejekinya nggak di situ, first. Dan yang kedua, ya mungkin ya ya udah, this is going to be your new field, computation and social sciences.
K: Terus kan pas aku baca di LinkedIn profile kamu, itu tuh kayaknya kamu pernah eksplor tentang mass political parties di Indonesia. Kayaknya itu disertasi yang S2 gitu nggak sih?
Z: Iya.
K: Terus boleh diceritain lebih lanjut ngga, dulu tuh bikin apa pas disertasi?
Z: Ini agak seru, and… dan lumayan politis. But to sum up everything, jadi kayak awal tahun 2000-an gitu kan banyak ormas Islam di Indonesia, tapi yang tendensinya lebih ke radikal, hardline, gitu dan akhirnya mencorong ke terorisme, inget, kayak waktu Bom Bali, Bom Marriott, itu kan parah ya. Terus pemerintah Indonesia waktu itu strateginya untuk nge-counter terorisme dan radikalisme yang kayak gitu adalah untuk bergandeng tangan dengan sebuah ormas Islam di Indonesia. Dan bilang, tolong dong ceramah, gimana cara supaya orang-orang tuh dengerin kalian dan nggak lagi ke masalah-masalah terorisme, kayak jihad-jihad kayak gitu. Jadi, ormas ini diminta pemerintahlah untuk meredam aksi teror dan lain-lain seperti itu gitu. Ormas ini ormas yang polanya vigilantism, jadi suka kayak ngelakuin sweeping, kayak gitu. Suka ngelakuin raid, kalau ngerasa kegiatannya amoral mereka bakal bubarin gitu. Emang radikal untuk perspektif kita saat ini, kok radikal dibiarin aja? Tapi ya ketika pilihannya terorisme atau sweeping-sweeping kayak gitu, ya pemerintah pasti milihnya ya udahlah sweeping-sweeping kayak gitu, it’s better to work with moralist thugs lah daripada teroris. Dan akhirnya organisasi Islam itu tumbuh di bawah pemerintah, meskipun pentolannya pernah masuk penjara, dan aksi organisasi Islam itu harus agak di-grassroot, dan apa ya, image mereka cukup negatif gitu. Cuma yang cukup menarik buat kemarin pemilu yang gubernur DKI Jakarta dan pemilu presiden yang terakhir ini, ormasnya naik ke permukaan. Dan bukan cuma partai Islam yang ngegandeng mereka. Yang bikin aku tertarik kenapa sih partai-partai yang bercorak nasional sekuler gitu mau gitu bekerjasama sama ormas ini. Terus kayak, waktu ormas ini ada aksi di jalanan, orang-orang dari partai ini dateng. Habis itu apa ya, bikin orasilah gitu. Itu kan sesuatu yang, wow, ini pattern yang berbeda dari dulu sama sekarang, gitu. Di sini sih yang aku pake *computation-*nya, jadi aku tuh pake part-of-speech tagger, jadi itu tuh kayak teks dipotong-potong bagiannya, terus kita jadi tahu kayak, kata kerja yang mana, subjeknya yang mana, adjective-nya mana, gitu. Itu kenapa kayak gitu, supaya aku bisa ngolah teks yang jumlahnya banyak banget. Karena waktu itu sampelnya semuanya berita tentang ormas Islam XYZ di Indonesia, dan semua partai politik di Indonesia, mulai tahun 2008 sampai 2018.
G: 10 tahun berarti ya?
Z: Iya. Jadi kayak ada… hampir 30 ribu berita, which is nggak mungkin kalau aku coding dengan cara kualitatif, kayak waktu aku S1 gitu kan. Ya udah, akhirnya aku pake computation, pake Python gitu di situ waktu itu, untuk mencari kata sifat apa yang paling menggambarkan ormas ini dalam empat pemilu di Indonesia. Jadi dua pemilu presiden, dan dua pemilu DKI Jakarta. Kenapa Jakarta, well, Jakarta ibu kota gitu, cukup signifikanlah semua-semuanya tentang politik. Terus kata sifatnya, dari empat pemilu, nggak berubah. Selalu penggambaran ormas ini selalu radikal, violent, hardline, terus antipluralis gitu. Nggak berubah. Cuma yang menarik tuh yang berubah kata kerjanya, yang in relation to mereka itu kata kerjanya berubah. Jadi kalau tahun 2008 - 2009 dulu itu kata kerja yang paling deket sama mereka adalah “attack”. Jadi mereka suka nyerang gitu. Terus mereka suka “disband”, berarti ngebubarin apa, ngebubarin acara, ngebubarin suatu perkumpulan… terus tahun 2011 - 2012 masih sama. Berarti suka ngancem kan, entah kelompok lain, entah orang lain gitu kan. Tahun 2013 - 2014 masih sama, dan yang beda tahun 16, 17 itu kata-kata dengan sentimen negatif kayak gitu udah berkurang. Jadi lebih kayak kata-kata netral, kayak secure, mengamankan, mungkin mengamankan acara, mengamankan sesuatu gitu. Summon, memanggil orang… terus kayak meeting, bertemu orang. Jadi, taktiknya ormas ini dalam sepuluh tahun ini berubah drastis ke praktik politik yang layaknya dipakai oleh political party gitu loh, ya kan. Jadi lebih…
K: Halus.
Z: Lebih halus, gitu, dan lebih bersinggunganlah dengan kegiatan partai gitu. Maksudnya yang kayak berkumpul, habis itu negosiasi. Tapi kata-kata sifat mereka tetep nggak berubah. Jadi persepsi orang tetep sama. Mereka tuh organisasi yang keras, tapi ya perubahannya di situ.
G: Berarti bener nggak kalau disimpulkan bahwa, meskipun istilahnya metode mereka berubah, tapi itu nggak berhasil untuk mengubah persepsi orang tentang mereka?
Z: Bisa, bisa. Tapi kan namanya politik, what works, apa yang praktis, apa yang bisa dilakuin kan. Ketika misal dilakuin itu kerjasama dengan partai, kerjasama dengan ormas lain, why not kalau itu akhirnya mencapai political goal mereka? Political goal mereka… I don’t want to say too much here, tapi ya ketika kamu punya keinginan sesuatu, kadang-kadang yang namanya politik praktis, that’s what’s going to happen. Nggak akan ngeliat ideologinya gimana, harus seperti apa, kadang-kadang kan kita juga bingung kan kenapa sih partai ini koalisi sama ini? Kenapa sih ormas ini sama ormas yang lain? Padahal kan kayaknya secara ideologi mereka beda. But in politics, ideology is one thing. But strategy is another thing gitu.
K: Yang penting yang mana yang, apa… bermanfaat buat mereka.
G: Satu hal yang aku notice, kalau denger dari ceritanya, dengan the power of computation, coding, kita jadi bisa ngebuka… bisa ngeksplor topik yang sebelumnya nggak bisa disentuh karena misalnya let’s say, susah kan mau interview satu-satu orang, practically impossible atau mungkin susah kali ya kalau mau wawancara satu-satu orang gitu. Apalagi misal topik yang sensitif kayak gini kan… susah kan buat nyari narasumber… aku nggak tau sih ada istilahnya… narasumbernya susah kan… dan yang aku seneng dengernya bahwa dengan coding, dengan Python, dengan POS tagger misalnya, kita bisa dapetin informasi-informasi tanpa harus repot-repot wawancara satu-satu orang, itu kayak susah banget gitu nggak sih.
Z: Terus yang seru di social sciences, kan kita kan punya, apa ya, pertanyaanlah, suatu pertanyaan dan gimana caranya kita ngejawab pertanyaan itu dengan constrain resource, dan uang. Karena waktu itu tesis aku itu nggak nyampe satu tahun dan aku nggak dapet funding gede, kayak di kampus juga nggak, cuman dapet beberapa, terus kayak aduh gimana caranya aku nyentuh masalah ini tanpa harus pergi ke Indonesia, tapi tetep bisa ngerti gitu. Akhirnya, well, computation is my savior.
K: Karena udah juga dibahas ya tentang… tadi tentang data, kita mungkin shifting sedikit ke topik coding. Karena dari S2 kan kamu mulai belajar Python dan R itu tadi kan. Terus… karena background kamu kan sebenernya nggak dari IT nih, dari social sciences. Gimana sih ceritanya bisa belajar coding, apakah itu belajar pas mau bikin tesis baru pas itu, atau gimana tuh sejarahnya?
Z: Jadi… aku dari awal tuh udah kayak ngerasa gitu, ini kampus nih bagus di computational social sciences, karena mereka kayak punya lab yang literally isinya social scientists working with computer engineers gitu. Jadi kayak, ya udahlah, belajar dulu entah mau dipakai di tesis atau nggak, pokoknya belajar dulu gitu. Jadi kayak quarter pertama aku ngambil kelas R, quarter kedua aku ngambil Python, quarter ketiga nulis tesis. Jadi kayak… agak-agak ngawur juga aku, kayak gila, temen-temen sekelasku tuh ya yang kayak literally udah bertahun-tahun coding terus aku nekat aja kayak gini. Emang sih kayak dibilangin sama dosenku gitu, “Zah kamu tuh nggak bisa coding. You’re not the best hacker, but you’re a hustler.” Jadi kamu tuh maksa bisa, which is fine, kalau aku rasa ya udah, kalau orang bener-bener pengen. Tapi aku sampe nggak tidur berhari-hari, kayak menjelang ngumpul tugas gitu, aku bangun sampe jam 4 terus kayak tidur sampai jam 6, kerja lagi, jam 9 sampai jam 12 selesai. Jam 12 aku langsung submit gitu. Bener-bener maksa tapi rewarding.
K: Berarti itu ada materinya ya di perkuliahan?
Z: Jadi R-nya waktu itu cuma ngajarin kayak kode-kode basic aja, cuma yang Python-nya waktu itu emang kelas computational social sciences, gitu. Kebetulan temen sekelas aku kerjasama dengan dosenku sendiri untuk nulis paket Python. Kalau kalian mau coba, namanya lucemillud, itu khusus buat sosiologi sama _content analysis. Dan itu diaplikasiin gitu loh di kelas. Emang kita sih bisa nulis kode sendiri, bisa ngembangin sendiri, kayak misalnya aku gitu karena waktu itu aku bikin network analysis juga waktu itu, dan itu bukan bagian dari kelasnya. Jadi aku harus adaptasi, gitu. Harus dateng ke jam bimbingan karena aku bener-bener nggak bisa sendiri gitu sejujurnya, gitu.
K: Berarti ngandelin belajar dari medium lain juga dong yah?
Z: Iya.
K: Itu biasanya belajar lewat apa tuh? Video tutorialkah, atau ikutan apa gitu…
G: Atau Coursera…
Z: Untungnya sih kampus aku super akomodatif, jadi kayak waktu itu dapet free Coursera gitu selama jadi student. Ya udah gitu dimanfaatin kan. Tapi sebenarnya yang free juga banyak sih, kayak Coursera gitu, terus aku suka nonton Khan Academy. Karena aku kan matematikanya *basic-*nya zonk. Terus harus kayak… linear algebra-lah, matrix algebra lah.
G: Tapi itu keren banget loh, aku juga belajar dari situ.
Z: Iya kan?
G: Keren banget loh Khan Academy itu. Kalkulus, linear algebra aku belajar dari situ semua.
Z: Bener banget. Dan itu jelasinnya pake warna-warna, jadi aku yang bego gitu jadi kayak oh ya udah, jadi sedikit lebih pede gitu. Tapi pokoknya basic-nya harus tau statistik dan matematik, dan itu kayak… Khan Academy sih nolong banget.
G: Oke banget. I approve.
Z: Jangan malu kalau nggak tau.
K: Galuh dan Zahra approved.
G: Aku jadi penasaran deh, kalau misalnya, let’s say orang belajar coding kan belajar banyak banget ya. Kayak… bahasa pemrograman aja ada banyak banget gitu kan. Nah, kira-kira ada saran nggak buat temen-temen yang misalnya di background social sciences, kira-kira kalau misalnya mau belajar coding, enaknya belajar dari mana sih? Yang mostly useful-lah buat aplikasi di social sciences.
Z: Sejujurnya tergantung sih, kayak kalian pengennya apa. Kalau kalian pengennya statistik dan nggak mau belajar programming, Stata bisa, SPSS bisa. Tapi kalau kalian mau visualisasi yang bagus-bagus, biasanya R sih super oke, karena resource-nya banyak dan kalau pake hashtag R gitu, tulis di Twitter, banyak banget komunitas-komunitasnya. Ada R ladies, jadi cewek-cewek yang make R, dan kebanyakan profesor gitu atau peneliti. Jadi kalau kalian peniliti social sciences, kalian mau bikin proyeksi map, kalian mau bikin grafik-grafik yang kayak lucu-lucu gitu, kemungkinan besar udah ada yang ngembangin paketnya, kalau kalian emang nggak mau ngembangin sendiri gitu. Dan eventually ketika kalian ngeliat kode orang lain, kalian bakal bisa sih kayak develop kode kalian sendiri. Cuma, kalau kalian pengen riset yang lebih kualitatif gitu yah, mendingan sih pake Python, karena Python itu… sama mungkin aku bias ya, karena aku belajar kualitatifnya waktu itu pake Python. Sebenernya pake R bisa. Cuma, pake Python tuh… lebih… nggak tau ya, “lebih serius” *computing engineering-*nya, jadi literally orang-orang engineering, matematika pakenya Python yang mungkin mereka emang murni di situ. Jadi ketika bersinggungan dengan social sciences, banyak materinya ada di situ. Terus machine learning-nya paketnya lebih oke juga sih menurut aku di Python. Bisa bikin supervised learning, unsupervised learning, which is in line with social sciences, karena kalau kita pake unsupervised learning gitu misalnya, pake topic modeling, kita bisa dump banyak banget dokumen, habis itu kita bisa ngeliat pattern-nya kayak gimana. Baru nanti kita kayak analisa, “oh, ini kelompoknya ini, kelompoknya ini”, baru kita bikin pemaknaan secara sosial. Kalau yang supervised learning ya kita biasanya berangkatnya dari teori gitu, apalagi kalau anak social sciences kayak politik, ekonomi, psikologi, atau kayak aku sendiri sosio gitu. Udah bisa sih kayak masukkin kode-kode tertentu untuk beberapa fenomena sosial yang kita temui di teks itu, terus running-nya suruh komputernya. Itu mainannya orang males, aku orang males sih.
K: Tapi emang teknologi dibikin untuk mengefisienkan hal-hal itu kan. Terus kan tadi pas disertasi kedua itu tentang political condition di Indonesia kan kamu pake data dari news ya, berita-berita. Ada nggak sih kayak kamu mungkin pake data dari media sosial, atau biasanya dapet datanya dari mana aja?
Z: Ini sih, kayak waktu aku kemarin evaluasi riset aku, aku sadar kalo riset aku bias. Karena aku cuma ngambil semua media berbahasa Inggris. Berarti ini kan exclude banyak media di Indonesia yang punya tendensi politik tertentu. Dan ini salah satu masalahnya adalah, well waktu aku sempit, aku nggak punya duit buat nyuruh 10 orang ngebantuin aku koding, karena untuk bahasa resource Indonesia itu termasuk low-resource language. Kalau konten kita bahasa Inggris, Spanyol, Mandarin udah banyak banget paketnya. Dan berhubung waktu itu ilmu masih cekek banget, waktu juga cekak banget, ya udah pake semua berita berbahasa Inggris gitu. Jadi nge-scrap waktu itu dari beberapa media di Indonesia sama di luar negeri, scraping berita aja gitu. Komputernya running satu semester nggak mati.
G: Nge-scrap banyak banget kan soalnya, 30 ribu berita.
Z: Dan aku karena masih zonk ya coding-nya, jadi trial pertama ngerunning kode itu satu hari satu malem, terus hasilnya salah. Atau hasilnya zonk nggak seperti yang diharapkan.
G: We’ve all been there, udah capek banget ya nunggu semalem terus tiba-tiba error gitu kan. Terus selain dari berita biasanya bisa ngambil data dari mana lagi sih?
Z: Bisa dari social media kalau kita bikin API gitu, minta ke Twitter, “manggil data”. Ada sih temen aku yang nge-scrap Twitter terus dia bikin analisa tentang hoax itu penyebarannya gimana, jadi it’s possible, dia juga belajar koding bareng sih sama aku dan kita ngelakuin hal berbeda gitu. Tapi ya intinya, start somewhere, you go anywhere you want kan, gitu.
G: Terus bisa ceritain nggak, misalnya kamu pas mau bikin research, tahapannya apa aja sih? Misalnya dari awal gathering data sampai akhir udah selesai nih analisisnya.
Z: Mungkin karena aku social scientist jadi berangkatnya dari pertanyaan tentang lingkungan aku gitu. Misalnya hubungannya unemployment sama inflation. Datanya biasanya kalau kayak gitu enak. Labor statistics-nya US itu komplit, atau data tentang inflasi gitu dari University of Michigan komplit. Itu riset yang enak, tapi itu biasanya statistik, dan aku jujur aja bukan orang yang kayak… I’m not a big fan of like pure statistics karena ya, ya gitu everyone has their cup of tea gitu. Kalo aku sih lebih suka teks gitu, ngeliat fenomena sosial, baca-baca teorinya, terus baru liat gap di literaturnya kayak gimana, baru kalau aku udah tau apa yang ingin aku cari, kayak yang aku bilang tadi, aku pakai supervised learning, jadi udah tau gitu apa yang mau dicari di data kita. Kalau belum tau apa yang dicari gitu biasanya unsupervised. Tapi biasanya kalau riset kita harus tau a) pertanyaannya, b) datanya kayak gimana. Itu sih biasanya datanya. Karena banyak orang yang punya research question dan punya argumen tapi nggak in line sama datanya, atau nggak in line sama conclusion-nya. Itu sih PR-nya social scientist, ngebikin cerita, ngebikin sebuah argumen dari data yang gila banyak banget.
G: Sama penasaran juga sih, library apa sih yang biasanya dipake pas research? Library Python atau R gitu yang paling kepake banget?
Z: Kalo R sih biasanya ggplot, dplyr.
G: Itu buat apa tuh?
Z: Buat bikin graph yang bagus-bagus gitu. Aku tuh orangnya sebenernya suka graphic design, tapi bodohnya pas aku undergraduate itu, aku tuh nggak bikin proyeksi yang bagus-bagus pake Excel dan lain-lain. Aku tuh pengennya yang bagus terus bikinnya kayak software visual design which is stupid karena susah dan nggak akurat, kan.
G: Harus disesuain sama angka dan proporsinya.
Z: Dari keenekan aku ngeliat proyeksi Excel yang gitu-gitu aja, ya udah. Jadi kayak nyari-nyari paket data yang bagus-bagus gitu. Ternyata R punya. Terus ternyata misalnya suka baca BBC, BBC kan suka ada proyeksi tentang proporsi orang di parlemen… jadi suka ada lingkaran-lingkaran gitu yang warnanya bisa berubah, terus map juga bisa kan, kayak map tentang poverty gitu di Indonesia. Terus kita bikin per daerah, itu bisa. Jadi bener-bener aku tuh orientasinya bukan mengolah data, which is sebenernya nggak bener juga sih. Tapi yang namanya orang punya drive masing-masing. Kalau aku sih pake R karena pengen bikin presentasi yang enak diliat, gitu.
G: Tapi itu penting juga nggak sih, percuma kan angka kita udah bagus-bagus, tapi kalau misalnya orang lain nggak ngerti karena presentation-nya jelek atau susah dimengerti kan, sama aja boong kan? Justru kan goal-nya supaya orang yang kayak kita-kita yang nggak ngerti jadi ngerti.
Z: Iya, apalagi kalau ngeliat kaya ekonometri gitu, terus ada tabel statistiknya gede banget. Terus ya, kalau kita harus ngerti ya bakal ngerti sih, cuma harus baca berkali-kali. Kalau grafik kan jauh lebih bisa dikomunikasiin ke orang, dan aku tuh bukan tipe orang yang pengen jadi scholar yang in my ivory tower, kayak nulis untuk sesama scholar, aku nggak mau. Aku mau tuh apa yang aku tau itu bisa dikomunikasiin ke orang lain, lebih seru.
G: Aku penasaran juga, kan tadi aku denger cerita kayak kenapa nggak pake berita Indonesia karena emang susah, karena misalnya library-nya kurang banyak. Kira-kira ada challenge lain nggak sih, misalnya kalau kita pake open data di Indonesia kan masih susah banget, kayak gitu-gitu ada constraint lain nggak yang membuat kita sulit untuk bikin research computation tapi menggunakan data Indonesia?
Z: PR sih, iya… maksudnya kalau kayak Python kan udah banyak ya kalau kita mau machine learning atau natural language processing, ada paket-paketnya sendiri kayak gensim gitu-gitu. Terus kita bisa make macem-macemlah, enak, cuma ya karena itu tadi, mereka research center-nya biasanya di Amerika kayak Stanford gitu yang gede misalnya, atau yang lagi naik daun misalnya UW Madison itu juga lagi naik daun computation social sciences-nya. Ya… agak bias juga akhirnya, karena kita make running data berdasar bahasa yang bahasanya beda. Akhirnya ujung-ujungnya waktu itu aku agak berinisiatif nyariin resource Bahasa Indonesia. Denger-denger ada beberapa orang sih di ITB, but until this point aku belum ketemu mereka sama sekali. Ada beberapa pelaku natural language processing juga di industri, cuma kan di industri mereka concern-nya bukan membantu research akademik ya, we do it for money. Agak susah. Mungkin kalau aku nanti PhD kan lama gitu, mungkin aku ada waktu untuk bener-bener ngelakuin ini sendiri dan bikin sesuatu yang open source. Nggak tau… itu juga bakal super banyak waktu yang bakal dimakan sih, but it should be worth it.
G: Impact-nya banyak sih pasti besar banget. Karena itu emang salah satu yang aku sering denger, susah nih NLP Bahasa Indonesia.
Z: Guest kita yang kedua kalau nggak salah Nilta juga ngerjain NLP kan, dia juga bilang di Bahasa Indonesia sangat terbatas.
G: Terus kalau open data di US udah bagus banget kan dan lengkap, kalau di sini ya… aku juga kemarin mau make juga masih berantakan, nggak sebagus di luar jadi emang challenging.
Z: Jangankan resource yang kayak bahasa gitu, maksudnya kita pengen ngeliat undang-undang gitu, emang sih di-scan, cuma tau sendiri kan kadang-kadang scan-nya kayak zonk. Mau kita pake optical recognition juga…
G: Ntar juga malah salah di situnya.
K: Malah salah transfer informasinya, malah jadi miss.
Z: Statistik juga kurang… kalau misalnya nggak pengen ngeliat yang bahasa, kayak misalnya pengen main angka aja gitu. BPS juga agak-agak susah gitu kalau diminta data yang gimana gitu. Tapi untung aja kayak researcher Indonesia udah banyak sih kolaborasi sama researcher luar, kayak misalnya Australian National University, deket banget gitu sama UI misalnya atau UGM gitu. Mereka juga punya dataset-dataset khusus Indonesia. Atau World Bank tuh kemarin, ada satu *researcher-*nya dia di Chicago juga kan, kenalan aku, dia bikin database tentang violence gitu di Indonesia. Gitu. Jadi udah mulai banyak sih, udah mulai banyak. Tapi aku yang cukup khawatir tuh bakal ada undang-undang yang ngatur riset di Indonesia.
G & K: Spill dong, spill.
Z: Bisa bete nih ngomongin ini. Jadi katanya orang asing kalau mau ke Indonesia mau riset itu harus pake izin gitu, loh.
K: Jadi harus minta kayak satu visa gitu?
Z: Jangankan cuma visa. Mendingan kalau cuma visa. Itu tuh harus ngajuin proposalnya, proposalnya harus dibahas… padahal kan itu tuh bisa… pisau dua sisi gitu, in one way itu kayak ya ngelindungin researcher Indonesia yang kerjasama sama researcher luar untuk ensure bahwa, oh ya ini akan ada transfer of knowledge, bakal adil, bakal etis, tapi on the other hand birokrasinya lambat, terus kayak aku takutnya sih lebih concern ke censorship sih.
G: Karena harus ada yang *yes-no-*in ini boleh apa nggak, kan.
K: Jadi nggak netral lagi.
Z: Sama aja kayak di Hungaria. Di Hungaria itu ada academy of science, jadi kayak LIPI-nya lah, lembaga penelitian gitu. Terus sekarang dipindah administrasinya ke bawah kementerian riset gitu. Jadi semua funding yang dikeluarin dari akademinya itu harus pake approval dari pemerintahnya. Padahal pemerintahnya tuh pemerintah otoriter. Aku nggak mau kalau nanti Indonesia at one point seperti itu. Aku nggak bisa bilang ya apakah Indonesia will slide back to authoritarianism, but for sure, it’s not a liberal democracy. Bahkan apa ya, dilanggengkanlah praktik-praktik untuk censorship, gitu. Atau kayak, penegakan hukumnya juga masih agak susah, gitu. Aku takutnya at one point, bisa ngancem kebebasan berpendapat, kebebasan akademia, pertukaran ide. Sesimpel kayak gini deh misalnya, ada gempa di Indonesia atau tsunami gitu. Terus ada researcher dari katakan, Australia, mau dateng, mau meneliti tsunaminya. Harus masukkin proposal berbulan-bulan, hayo. Fenomenanya udah abis.
G: Udah nggak relevan juga.
Z: Gitu sih, kesel. Tapi mau gimana lagi.
K: Kayak Cinta, “basi! Madingnya udah terbit.”
G: Itu udah ada atau masih rancangan…?
Z: Kemarin sih masih RUU, tapi kok udah UU tau-tau… aku belum update lagi sih, katanya udah UU aja, cuman kayak aku udah nggak mau baca lagi karena bete kan. Tapi I’m lucky I’m Indonesian, but at the same time if my collaborator is foreign…
K: Itu juga berlaku kalau si foreign researcher-nya itu sebenarnya kerjasama sama researcher Indonesia?
Z: Kalau si researcher-nya mau ke Indonesia sih, kudu ribet. Aku belum baca sepenuhnya, cuma kayak skimming gitu sejujurnya, jadi mungkin ada yang salah. I acknowledge that I don’t read it karena, gila, baca banyak banget udah marah kan, ya udah. Tapi garis besarnya seperti itu, gitu. Coba tanya anak hukum tentang ini, aku nggak bisa ngomong banyak, tapi kekeselan ada. Ketakutan ada, kekhawatiran. Maksudnya… risetku nggak sensitif, tapi kan banyak orang yang pengen ngeriset tentang ‘65, misalnya. Itu kan sensitif ya. Itu for sure bakal lebih nanjak lagi tanjakannya.
G: Parah sih kalau sampai emang udah jadi UU ya.
Z: Kemarin tuh sebenernya bukan UU sih, peraturan aja gitu. Jadi kayak nggak terlalu gimana gitu. Terus kayaknya menteri dalam negeri ya kalau nggak salah, diprotes, terus di-withdraw, di-cancel, terus tiba-tiba jadi RUU. Terus kabarnya udah UU tapi I have to confirm once more, nggak boleh marah dulu harus baca dulu. Parah sih aku. Salah juga sih aku harusnya baca itu dengan kepala dingin kan, ya gitu sih.
G: Ada challenge-challenge lain nggak yang pernah dihadapin selama ini, di luar data atau research terkait Indonesia in general?
K: Atau mungkin challenge pas belajar coding?
G: And how you solved it?
Z: Keluarga aku sih bukan yang background-nya akademisi gitu sih, mereka kan bisnis, jadi dukungan untuk kuliah tuh ada, tapi untuk lanjut PhD agak nanjak gitu. Kayak orang tua pengennya ya ngapain sih sekolah lama-lama, jadi sejujurnya dukungan dari orang-orang terdekat tuh penting. But if you like one thing kadang-kadang ya udah gitu, kelelep aja di situ, suka aja. I don’t wanna say that liking something enough will be enough, karena jujur aja butuh mentor gitu. Dan aku beruntung karena aku dapet mentor yang… dosenku tuh orangnya sabar gitu loh. Dia tuh ngerti kalau aku tuh nggak ngerti. Dia tuh ngasih tau gitu. Tapi bukan berarti dia ngedikte aku kayak dari A-Z, tapi dia tuh orang yang ngasih petunjuk jalan. Jadi bukan ngarahin kita harus jalan ke mana, tapi kayak bilang, kalau kamu mau ke Jakarta tuh bisa lewat tol ini, gitu. Bisa juga naik pesawat. Bisa juga naik kereta. Terserah. Kalau kemampuan kamu naik kereta, ya kamu naik kereta. Waktu itu, aku kayaknya kalau dengan analogi ke Jakarta, kayaknya aku waktu itu jalan kaki karena aku lambat banget. Lambat banget. Tapi itu rewarding, karena aku tuh baca *reference letter-nya dosen aku kan, waktu dia tuh kayak submit reference letter gitu buat suatu aplikasi aku gitu. Dosen aku bilang, “Zahra starts with a zero ability in coding di kelas ini. But her project came out as, if not, one of the strongest in the class,” gitu.* Berarti maksudnya kayak… perseverance kayak… banyak sih temen-temen aku yang diskusi sama aku, ah gila ini susah banget, ganti proyek aja. Kalau aku tuh nggak mau. Karena ingin banget tau, ingin banget apply ini ke tesis aku. Jadi tugas akhir aku di kelas computational itu in line sama tesis itu, jadi aku kayak, nggak nggak nggak, harus, gitu. But it pays off. Lumayanlah berdarah-darah banget, komputer nggak mati, aku nggak tidur, tapi ya udah. Seneng, seneng.
G: Oke, satu lagi. Ada future plans nggak kira-kira ke depannya mau ngapain, atau ada proyek apa?
Z: Aku pengen banget jadi dosen. Pengen banget. Sekarang sih aku lagi di UGM, bantuin di pusat studi sosial Asia Tenggara, kayak review paper, review manuskrip buku. Itu kayak… seru aja, kayak ngeliat argumen orang, ngeliat gimana orang develop suatu idea, itu sesuatu yang menarik buat aku. Dan ketika nanti jadi dosen, aku pengen seperti itu. Pengen ngelihat orang lain develop ide mereka masing-masing, gitu. Karena jujur aja, selama aku sekolah di Indonesia, ketika aku nanya sesuatu biasanya jawabannya, “karena itu tuh itu. Karena ini tuh ini. Nggak usah ditanyain lagi.” Nah aku pengen jadi pengajar yang, “menurut kamu gimana? Menurut kamu fenomena ini seperti apa?” Itu bukan masalah salah bener jawabannya, tapi gimana caranya sih kamu berpikir? Aku tuh pengen… it’s fun to delve into other people’s mind. It’s fun to delve into things. Asik aja. Gitu sih.
K: Semua tercapai ya, doakan Kak Zahra ya teman-teman. Terakhir nih, ada pesan-pesan untuk pendengar kita nggak? Either tentang social sciences, atau belajar coding, atau in general.
Z: In general… do the things that you like. If it’s hard, it will be the fun kind of hard. Dan yang paling penting sih, moto hidupku tuh, fake it til you make it. Meskipun kita kayak zonk banget gitu di suatu tempat, nanya aja nggak apa-apa. Terus kayak, ya udah keep hustling lah, nggak masalah.
K: Keren banget ya. Aku sih jujur merasa terinspirasi banget ya denger ceritanya Zahra. Dari yang background-nya sangat berbeda, bahkan 0 knowledge on coding, terus belajar dari kuliah cuma basic-basic doang, tapi dia bisa langsung apply itu untuk research-nya dia, menurutku keren banget sih. Oke deh, semoga episode kali ini menginspirasi kalian, dan kayaknya segini aja dari kita. See you on the next episode!