K (Kiki): Halo semua, kita balik lagi di Kartini Teknologi. Kiki dan Galuh di sini.

G (Galuh): Halo.

K: Ini pertama kalinya kita record secara onsite, biasanya kita lewat video conference, tapi kali ini tamunya spesial jadi kebetulan kita bisa record bareng-bareng jadi ya… kita udah ada bertiga di sini, namanya Kak Vanya. Kayaknya langsung aja kali ya, Kak Vanya introduction langsung.

V (Vanya): Oke, saya Vanya, sekarang kerjanya sebagai machine learning researcher dan research scientist juga. Sebenarnya background-nya di machine learning, tapi passion-nya lebih ke teknologi juga dan juga musik.

K: Aku kayaknya pengen nanyain tentang background-nya Kak Vanya dulu deh. Kak Vanya asalnya dari mana, sih?

V: Dari Jakarta sebenernya, jadi ya di sini-sini aja.

K: Oke… dari Jakarta ya. Terus aku penasaran juga sama background pendidikannya gitu, dulu kuliah di mana sih Kak Vanya dari S1 sampai sekarang?

V: S1-nya di ITB ngambil elektro, tapi subjurusannya teknik biomedika. Terus S2-nya jurusan computer vision and robotics, itu di Eropa, Erasmus Mundus. Jadi di tiga negara, di Inggris, Spanyol, di Prancis. Jadi tiap semester pindah-pindah, jadinya sekalian jalan-jalan dan belajar kebudayaan Eropa juga. Kan emang programnya Uni Eropa.

K: Tapi kurikulumnya nyambung ya berarti ya, dari satu kampus…

V: Misalnya kalau yang di Inggris lebih ke robotics, kalau yang di Prancis lebih ke computer vision, tapi modulnya semuanya nyambung. Terus kemarin S3-nya ngambil di London, di Imperial College London. Lebih ke machine learning buat image.

G: Nah, tadi kan kalau awal-awal diceritain kayaknya interest-nya Kak Vanya banyak banget nih, dari teknologi juga, musik juga. Kenapa sih bisa awalnya itu spesifik tertarik ke teknologi gitu misalnya waktu awal-awal kuliah, kuliah elektro, terus S2-nya memutuskan untuk ngambil computer vision…?

V: Kalau teknologi sih emang dari SMP, SMA… ya, it’s kinda cool, kayak bisa create something kan kalau teknologi. Jadi suka teknologi emang dari SMA, SMP gitu. Kalau untuk musik sih emang dari kecil sih, kayaknya semuanya emang suka. Teknologi mungkin karena lebih suka sesuatu yang baru, dan pengen bikin sesuatu aja.

G: I see, karena teknologi tuh ini ya, kayak kita bener-bener… istilahnya kayak punya power gitu untuk membuat sesuatu yang baru.

K: Terus, kan kayaknya spesifik banget ya Kak Vanya, lebih mendalami tentang AI, machine learning gitu. Dan AI kan termasuknya masih teknologi yang baru, apalagi kalau di Indonesia, kayaknya masih jarang banget orang yang bisa ngerti dan ngerjain AI gitu. Terus… kalau Kak Vanya sendiri, berdasarkan pengalaman selama ini, itu penerapan AI selama ini tuh udah sejauh apa sih?

V: Sebenarnya awalnya AI yang saya pelajarin kan baru pas S3. Sebenarnya sebelumnya pas S1 lebih fall in love-nya ke teknologi kesehatan sih, misalnya kayak medical image analysis, gimana caranya analisis citra medis. Tapi makin ke sini makin… sekarang kan lebih, analisisnya lebih pake machine learning semuanya, jadi kita ngikut ajalah tren sekarang. Tapi sebenarnya untuk AI itu kan, artificial intelligence, sebenarnya udah lama juga. Tapi mungkin sekarang baru booming, apalagi kalau computer vision kan semenjak ada challenge-challenge di tahun 2012, mungkin booming sekarang karena, pertama, data-nya sekarang kan kayak big data, udah lebih banyak data yang tersedia. Terus computing resource-nya kan kayak GPU-nya sekarang, misal NVIDIA, udah semakin advanced-lah untuk mengolah segitu banyak data. Untuk tools-nya juga kan sekarang orang bisa make deep learning yang neural network. Dulu kan mungkin pas zaman saya, 2006 misalnya, pas S1 mungkin ngolahnya masih pake neural network yang cuma satu layer atau apa. Sekarang kan udah lebih advanced, jadinya AI-nya udah semakin cepatlah, pesat perkembangannya. Tadi kenapa, di Indonesia ya… di Indonesia sih sekarang kan udah banyak juga kan perusahaan yang punya atau pakai AI kan, di bidang computer vision, NLP, chatbots… untuk computer vision juga ada beberapa perusahaan e-commerce kan, udah banyak risetnya di AI. Dan institusi juga ada sih beberapa yang biomedical image analysis juga.

K: Institusi kesehatan gitu kayak rumah sakit?

V: Misalnya universitas… Binus juga ada kan di situ. Udah mengarah ke sana, sih. Perusahaan dan institusi.

K: Iya sih ya udah mulai banyak karena gaungnya juga udah mulai lumayan sering. Terus aku jadi penasaran deh, tadi kan Kak Vanya sempet bilang… jadi research scientist, terus satunya lagi machine learning researcher.

V: Sebenarnya semuanya research sih.

K: Oh iya oke. Itu bedanya apa?

V: Sebenernya sama aja sih kerjanya research… sebenarnya kayak bikin metode supaya analisisnya bisa lebih baik dengan metode yang kita kembangkan. Soalnya kan di machine learning, riset yang dikembangkan kayak cepet banget gitu, jadi berpacu dengan tren. Juga akurasinya semakin ditingkatkan.

G: Tantangan dalam penerapan AI, khususnya di bidang kesehatan apa sih challenge yang dihadapi sekarang?

V: Sebenarnya untuk di bidang kesehatan, challenge-nya lebih banyak sih, nggak hanya di Indonesia. Mau di Inggris, mau di Amerika… soalnya kalau kesehatan kan lebih banyak prosedur yang harus dilewati, karena FDA approval… kalau di sini mungkin ke Depkes kali ya, karena menyangkut kesehatan orang. Nah tantangan awal paling biasanya datanya, datanya harus ada reason juga yah kalau dari rumah sakit, ethical approval… terus untuk ground truth kan kita butuh dokter atau clinical person, kalau misalnya nentuin ini, diagnosisnya gimana, penyakitnya gimana… kan butuh ground truth atau pendapat dokter yang mungkin subjektif, itu tantangannya. Terus ya kebutuhan klinis di Indonesia itu apa misalnya kan… dan juga dari sisi teknisnya, computing resource-nya, kayak spec komputernya, saya kan kalau medical image mungkin kalau untuk gambar, selain datanya harus… archive-nya rapi, kalau radiology ada sistem PACS atau DICOM-nya, nah itu juga… dia kan biasanya datanya itu large banget. Kalau untuk sistem approval-nya sih, kadang tantangan di kesehatan ada di orang-orang clinical-nya, misalnya kayak dokter atau radiology, mungkin nggak hanya di sini tapi di sana, mungkin mereka ngerasa… “kok kamu kayak mau replace saya? Kamu mau replace radiologist…” padahal sebenarnya AI will not replace radiologist atau doctor. AI will only assist to diagnose, untuk bantu aja, sebenarnya untuk keputusan diagnosisnya kan di dokter. Ini cuma untuk memudahkan. Misalnya kan untuk dokter bikin ground truth kan lama, misalnya untuk radiologist bikin ground truth, untuk nandain di scan-nya lama, nah AI bisa bantu. Kalau zaman dulu sebelum AI mungkin lebih terkenal computer-aided diagnosis ya. Sebenarnya dari zaman dulu juga ya untuk bantu aja sih.

K: Berarti lebih complementary lah ya, nggak untuk replace human resource-nya.

V: Kalau di UK juga ada kayak Babylon AI, nah itu untuk kesehatan… kayak bukan chatbot, ya kayak chatbot juga tapi bisa bantu diagnose juga AI-nya, bisa pakai NLP, tapi untuk kesehatan Babylon. Udah lumayan besar sih kalau di sana.

K: Itu namanya Babylon? Nama platform-nya?

V: Iya namanya Babylon. Mereka kerjasama dengan dokter juga di sana, jadi nggak bisa sendiri-lah. Kalau sendiri kan nggak bisa dilepas.

K: Dulu tuh kalau pas masih kuliah kan ada mata kuliah namanya image processing. Nah aku bingung bedanya sama biomedical image analysis itu apa ya mbak?

V: Sebenarnya itu sama aja, cuma gambarnya aja beda. Kalau image processing kan lebih ke teknik-teknik yang kita gunain untuk memproses image, misalnya image biasa, foto gitu kan, bisa kita olah gambarnya. Pengolahan citra kan yah. Kalau medical image sebenarnya gambarnya aja beda, misalnya medical image ada scan radiology, kayak scan dari MRI, magnetic resonance imaging, atau scan dari ultrasound, misalnya janin, perut, atau scan dari CT scan, atau dari video operasi… video operasi juga, misalnya laparoscopy itu juga termasuk medical image. Jadi kita bisa analisis dari video operasi. Juga gambar-gambar medical image misalnya sel biopsi, bisa dianalisis, ini sel cancer-nya tipe apa. Jadi kalau medical image analysis lebih ke image-nya, citranya spesifik ke citra kesehatan. Tapi kalau teknik-tekniknya, bisa pakai teknik pemrosesan computer vision general bisa juga, tapi mungkin pengolahannya lebih spesifik nanti ke radiology atau ke cell imaging.

G: Nah kalau misalnya kita ingin melakukan biomedical image analysis sendiri, tahapan-tahapan apa aja sih yang biasanya harus kita lakukan, mulai dari pengumpulan data mungkin sampai nanti analisisnya jadi gitu, secara umum aja.

V: Biasanya sih kalau biomedical image analysis, kita kerjasamanya dengan rumah sakit. Jadi ada expert-nya dari clinical juga, kan datanya juga data rumah sakit. Jadi pertama soal data. Terus kalo udah dapat data, kebutuhan dokternya apa, jadi ground truth-nya istilahnya mereka yang nentuin gambar ini sakit atau nggak, atau gambar ini ada masalah atau nggak. Lalu setelah udah dapat data ground truth-nya baru kerjaan kita dari sisi researcher atau sisi engineering-nya bikin model, misalnya machine learning model-nya kayak apa, kita training dengan data-data dan ground truth dari dokter. Lalu tes lagi validation, tes lagi dengan data-data itu… kalau misalnya accuracy-nya masih rendah kita iterasi lagi modelnya lagi… kita iterasi terus sampai, oke misalnya dokter sudah puas, sudah sesuai dengan kriterianya.

G: Itu biasanya untuk satu project atau analisis itu berapa lama ya?

V: Tergantung project-nya sih. Tapi ya biasanya, empat, lima, empat-enam bulan. Tapi tergantung.

G: Terus untuk melakukan biomedical image analysis sendiri, teknologi apa sih yang biasanya dipake, atau technology stack-nya apa, bahasa pemrogramannya apa, atau mungkin ada software tertentu yang dipake?

V: Kalau sekarang sih karena semuanya pakai deep learning, jadi kayak udah end-to-end-nya, jadi standar aja sih standar deep learning library, kayak pakai TensorFlow, Keras, Python-based... tapi kalau zaman dulu yah zaman dulu analisis pas S1 pas S2 zaman MatLab, C++, tapi kalau dulu kan masih dari feature extraction dulu, terus detection, pre-processing, kalau sekarang udah end-to-end, semuanya yah pakai deep learning library.

K: Kalau kuantitas data-nya untuk bisa nge-train deep learning itu harus berapa banyak ya?

V: Idealnya sih… sebenarnya, kadang kita tanya balik, sebenarnya mereka punya-nya berapa. Misalnya radiology, kemarin dari 35 pasien, tapi dengan misalnya 15 organ juga udah bisa detect bagus. Bisa detect otomatis 15 organ dari whole-body scans, 35 pasien. Itu juga sebenarnya udah bagus, dari MRI whole-body scan. Tapi sebenarnya kalau lebih banyak lebih bagus. Tapi kalo adanya segitu… karena kan kalau bikin ground truth capek kan dokter, yang penting ada dulu aja. Nanti akan disesuaikan, walaupun sebenarnya lebih banyak lebih bagus.

K: Oh iya, terus, selain AI itu, dulu Kak Vanya pernah ngerjain apalagi sih kalau di bidang teknologi?

V: Dulu paling waktu S1 semuanya lebih ke biomedical image analysis, karena emang interest-nya kan ke teknologi kesehatan. Tapi waktu S1 tuh lebih ke mata, misalnya kalau orang diabetic retinopathy, dari fundus retina-nya kan ketahuan orang itu diabetes atau nggak. Nah kita bisa dengan computer-aided diagnosis—image processing juga—itu bisa deteksi mana kebocoran retina-nya, dari citra fundus itu tingkat keparahan diabetesnya, jadi istilahnya teknologi membantu diagnosis kesehatan. Terus pas S2, kebetulan waktu di Prancis, kan kalau untuk medical image analysis kita base-nya di rumah sakit. Jadi bantu cardiologist, jadi kalau dari citra MRI jantung, bisa deteksi serangan jantung. Jadi abis serangan jantung, otot jantungnya kalau di MRI kita bantu… waktu itu aku bikin tools untuk kuantifikasi infarct, jadi otot-otot sel jantung yang udah mati berapa persen. Dari image MRI kita bisa kuantifikasi, ini infarct-nya udah berapa persen. Nanti kan dokter jadi bisa menentukan tindakan selanjutnya. Nanti enam bulan kemudian dikontrol lagi, infarct-nya udah berapa persen, dan ada jenis-jenis infarct-nya, misalnya dari abis serangan jantung itu sel otot jantungnya bisa balik lagi atau udah mati. Nah itu sih, itu menariknya pas itu sih, di Prancis pas S2. Nah kalau S3, lebih ke whole-body MRI, dari scan MRI dari leher sampai lutut, nah kita bisa deteksi lima belas organ berbeda. Itu pake AI aja, ya pake machine learning method yang kita bikin. 15 organ berbeda. Dari sana nanti mengarahnya ke pathology, jadi kalau misalnya ada abnormality, misalnya di liver-nya ada tumor, nah itu bisa ketahuan. Karena kita udah ada standar normal liver-nya.

G: I see, kayak yang normal gimana, jadi kalau misalnya beda dikit langsung ketauan ya?

V: Iya. Saya juga bikin population study dari Biobank di UK.

K: Oke, kita agak shifting sedikit ya ke topik yang lain tentang education-nya Kak Vanya. Ini sebenarnya pertanyaannya Galuh sih, aku tau nih yang bikin Galuh. Jadi mungkin Galuh yang mau nanyain.

G: Biasanya kan kalau abis lulus S1… ini temen-temen aku juga lagi banyak yang kayak gini, mau langsung ke industry atau mau pursue higher education dulu. Nah dulu Kak Vanya pertimbangannya apa sih memilih untuk mau S2 dulu habis itu lanjut S3?

V: Sebenarnya waktu lulus S1 sih emang sempet kerja sebentar, cuma kayak bosen ya kalau di Jakarta. Pengen cari yang beda aja. Tapi sebenarnya dari dulu emang pengen jadi dosen, akademisi gitu, suka research. Dan kayak kalau kerja agak bosen, jadinya yaudah S2 aja, sekalian jalan-jalan kan. Kalau Uni Eropa kan kita programnya waktu itu Erasmus Mundus, jadi kayak tiga negara beda, di UK di Scotland, terus di Spanyol-nya di Barcelona, di Catalunya, terus di Prancis-nya di Bourgogne. Dan kita juga belajar kayak budayanya, jadi kan ilmunya dapet, jalan-jalannya dapet. Ya itu sih paling pertimbangannya. Terus untuk S3, sempet vakum dulu sih, kan untuk keluarga dulu terus baru lanjut karena emang sukanya research, pengen jadi akademisi. Baru S3 2015 sampai kemarin.

K: Berarti udah lulus ya?

V: Udah lulus alhamdulillah.

K: Selamat! Itu dulu tau program ini dari mana kak?

V: Banyak kan dari… kalau suka liatin website-website beasiswa, dulu kan suka ada program. Sekarang masih ada kan? Erasmus Mundus?

G: Sekarang masih ada… cuma itu tiap tahun kan topiknya suka ganti ya, belum tentu topik yang tahun ini…

V: Iya tapi kalo untuk S2 untuk daftar universitas dulu terus beasiswa juga bisa sih, macem-macem sih tergantung interest-nya masing-masing.

G: Nah terus kan sekarang udah mulai application season nih, udah mulai buka-buka pendaftaran. Nah, kira-kira buat pendengar kita yang lagi mau apply-apply juga, kira-kira Kak Vanya ada tips nggak gimana sih kita bisa membuat aplikasi yang stand out, baik itu mau apply ke universitasnya, ataupun ke beasiswanya?

V: Pertama, pastikan kalau misalnya nilai transcript kita bagus, ya tonjolin di situnya. Misalnya nilai kita IPK-nya 4… terus selain nilai transcript-nya, juga motivation letter-nya. Dari situ, untuk motivation letter, lebih baik dikasih juga personal motivation atau personal experience yang align dengan project yang kita kerjakan atau jurusan yang akan kita ambil. Misalnya kenapa sih kita interest sama jurusan yang kamu ambil? Atau dengan spesifik research di sana? Terus di motivation letter itu juga ditulis, kalau udah selesai mau ngapain? Jadi kita ada, what do you want to contribute in the future? Itu kalau kamu apply ke banyak beasiswa atau universitas, disesuaikan. Jangan disamain semua. Jadi jurusannya disesuaikan, topiknya di sana ada apa disesuaikan, dengan beasiswanya disesuaikan. Memang butuh effort. Kalau misalnya udah satu gagal, coba lagi, don’t give up. Saya juga S2 dulu sempet keterima beberapa beasiswa, sempet ditolak, untuk S3 juga lumayan juga sih dulu, hampir 200 aplikasi waktu S3. Kan sambil dua tahun nungguin anak. Tapi nggak apa, kan jadi banyak baca research.

G: Makin sering malah makin better ya, each application

V: Tapi ya, don’t give up aja.

K: Tadi kan di antara application yang dari S2 sama S3 kan lumayan lama kan ya vakumnya, itu sempet kerja juga nggak mbak?

V: Waktu itu… nungguin suami di Belanda, nah itu project sendiri aja, jadi saya juga bikin buku sambil bikin album… itu ada banyak album.

K: Itu sih yang… kayanya kita liat dari profilnya Kak Vanya itu you seem to have it all, keluarga bisa jalan, karir juga masih tetep jalan…

G: Passion project juga tetep jalan…

K: How can you have it all like that? Ada tips and tricks untuk manage itu nggak mbak?

V: Mungkin pertama set priority. Sekarang mungkin karena keluarga, ya mungkin keluarga number one priority. Yang lainnya menyesuaikan. Misalnya kalau kerja, ambil… kalau research mungkin bisa lebih fleksibel, tapi ya ke kantor juga, tapi mungkin jemput anak abis itu kerjain di rumah. Saya kan kalau di London nggak ada yang bantuin, nggak ada keluarga yang bantuin, maksudnya pulang juga beres-beres, masak sendiri, antar jemput, actually harus manage energy juga, karena kalau nggak bakal tepar. Paling setelah set priority, kita juga harus enjoy ngerjain. Karena kalau nggak enjoy ya, gimana. Kalau music sih, itu hobi sih, biar nggak stress.

G: Penting ya.

V: Terus kan Kak Vanya kayaknya sangat memprioritaskan keluarga kan ya, aku penasaran arti keluarga buat Kak Vanya itu apa sih?

V: Ya kalau keluarga mah ya top priority, terus mereka yang support banget, waktu S3 juga mereka ikut semua, sekarang juga kita masih stay di London. Pokoknya mereka support-lah, number one supporter, kita juga saling support aja.

K: Oke, terus kalau musik gimana?

V: Kalau musik sih dari dulu, dari dulu kan emang udah suka ngarang-ngarang lagu, tapi kita juga home recording sih di rumah, jadi kayak bikin musiknya sendiri, ya pake laptop aja sih, pake digital audio workstation, ya pake audio interface, mixing, mastering

K: Itu ngelakuin semua sendiri?

V: Iya semuanya… nyanyi sendiri, rekam sendiri, main biola, piano, gitar… tapi sekarang sih lebih ke anak yang besar sih, ke video cover kayak gitu. Tapi kalau anak-anak ya kebetulan yang besar juga suka nyanyi, jadi YouTube gitu.

G: Jadi emang udah hobi sekeluarga ya…

V: Yang besar sih.

K: Oke deh kalau gitu makasih banyak ya Kak Vanya, ngobrol-ngobrolnya sama dedeknya juga thank you udah sharing-sharing