Kiki (K): Halo semuanya, kita balik lagi di Kartini Teknologi bareng Kiki dan Galuh seperti biasa. Dan, hari ini kita udah kedatangan another Quora*…*wati? Quorawati ya kita bilangnya? Karena mbak-nya aktif banget di Quora, dan kalian mungkin sebagai pengguna Quora ada beberapa yang udah tau. Dan without further ado, kayaknya kita langsung welcome aja, Kak Victoria Lestari. Halo, Victoria.

Victoria (V): Halo, makasih banyak Kiki dan Galuh udah undang saya ke podcast ini. Ini pertama kalinya aku diundang podcast, jadi bener-bener ngerasa terhormat, dan ya sedikit nervous, tapi mudah-mudahan lancar, ya.

K: Amin. Anyway, Victoria mau ini nggak, kenalan singkat aja tentang siapa kamu dan mungkin apa yang sangat kamu passionate about?

V: Halo semua, nama saya Victoria, panggil Vic boleh. Saya tinggalnya kalau di Indonesia di deket Jakarta, tepatnya di Tangerang Selatan sih. Terus saya menempuh pendidikan S1 di UI, Fasilkom UI, Universitas Indonesia tahun 2011. Terus saya melanjutkan ke jenjang S2 di University of Texas Austin, Amerika Serikat, tahun 2016. Dan saya sempat ngajar di UI sebentar, kemudian karena saya dipanggil untuk kerja di Google London, sekarang saya ada di London. Yang saya suka sebenarnya sih, di luar teknologi, saya suka dengan seni dan media kreatif. Jadi bener-bener seneng banget waktu diundang oleh Kartini Teknologi karena ini bener-bener apa yang saya suka, perempuan, isu tentang perempuan, dan juga teknologi ditambah dengan media. Jadi makanya langsung mau.

K: Oke, kita mungkin mulai dari pertanyaan yang basic-basic dulu aja kali ya. Tentang awalnya gimana sih ceritanya Victoria bisa tertarik dan akhirnya berkecimpung di dunia teknologi?

V: Oke, iya, jadi sebenarnya saya udah lumayan suka dengan komputer dari waktu TK. Kebetulan papa saya kerjanya pake laptop dan saya seneng banget waktu ngeliat komputer, dari kecil juga langsung diperkenalkan dengan PC. Saya sering pake PC tapi belum pernah pemrograman sih sebenernya, jadi pake PC buat ketik-ketik, buat Photoshop malahan. Terus ya waktu remaja sukanya baca novel, jadi sempet kepikiran buat masuk jurusan Sastra Inggris, tapi oleh orang tua direkomendasi masuk Ilmu Komputer aja, karena itu ilmu masa depan, prospek kerjanya lebih baik, dan kebetulan karena saya suka matematika, matematika juga akan kepake di bidang Ilmu Komputer jadi karena saya punya skill-nya, kenapa tidak? Terus lama-lama jadi terlanjur kecimpung di sini, suka juga, ngelanjutin sampai ke S2, terus lanjut sampai bisa kerja di Google.

K: Terus kalau dari, apa ya, tech stack-nya sendiri kamu biasanya sehari-hari bahasa pemrograman atau tools apa aja, sih?

V: Jadi kalau dulu, waktu saya masih kuliah, saya sebenarnya paling suka Python, sih. Jadi saya background-nya lebih ke academic research. Waktu S2 saya pakai Python, tapi sekarang di Google karena saya di bagian Android, jadi saya balik lagi ke Java. Dulu pertama kali waktu kuliah juga belajarnya Java dulu. Kemudian tech stack-nya ini kalau yang dulu waktu masih research saya pakai Python bener-bener basic banget sih, kalau sekarang pakai tech stack khusus milik Google, jadi khusus pemrograman yang ada di environment Google.

K: Kamu kan lulusnya dari University of Texas ya, di sana belajarnya apa aja sih, terus mungkin bisa diceritain gitu thesis-nya tentang apa?

V: Jadi kalau di University of Texas, atau disingkatnya UT Austin, departemen computer science-nya itu general, jadi semua mata kuliah harus diambil. Maksudnya general itu gimana, jadi beberapa universitas di Amerika Serikat ada yang memang khusus departemen machine learning, atau departemen khusus computational linguistic, tapi di UT Austin itu general, general computer science, saya harus ambil semua kelas. Di sana dibagi tiga kelasnya, jadi kelas bidang teori, misalnya algoritma, atau sistem yaitu contohnya operating system, distributed system, waktu itu saya ambil dependable computing system yang mempelajari keamanan… bukan keamanan tapi lebih ke gimana kalau satu sistem gagal, failure, itu di-backup sama yang lainnya. Tapi kalau backup-nya terlalu banyak, itu juga boros, jadi harus efisien tapi juga aman. Kalau yang teori, saya ambil parallel algorithm, jadi kalau kalian yang kuliah di ilmu komputer mungkin pernah dapat materi yang namanya desain dan analisis algoritma, nah ini lebih lanjutannya lagi. Terus yang ketiga itu bidang aplikasi, nah bidang aplikasi ini sebenarnya paling cocok dengan bidang peminatan saya. Ini paling luas dan kelasnya paling banyak. Contohnya itu seperti kelas AI—artificial intelligence, machine learning atau database. Karena peminatan saya di NLP, natural language processing, atau pengolahan bahasa manusia, itu termasuk di aplikasi. Itu yang saya pelajari di UT. Tesis saya sendiri tentang coreference resolution, apakah ada yang pernah denger apa itu coreference resolution?

Galuh (G): Pernah denger, tapi nggak apa-apa ceritain aja.

V: Jadi kalau coreference resolution itu salah satu subtask dalam NLP, di mana suatu kalimat… jadi kan kita punya paragraf, biasanya ada yang namanya, apa ya kata ganti orang atau pronoun. Pronoun ini mengacu ke objek yang mana? Misalkan, “saya pergi ke kantor Google setiap hari. Di sana tempatnya sangat nyaman.” Misalnya gitu. Terus, tempat itu mengacu ke kantor Google. Itu adalah suatu coreference. Resolution itu membuat suatu sistem yang bisa menghubungkan kedua kata ini, bahwa mereka mengacu ke objek yang sama. Sebenarnya coreference resolution sendiri sudah banyak penelitiannya di NLP, terutama yang paling banyak ini meneliti di Coref ini dari Standford University. Tapi waktu saya tesis, saya mengambil acuan paper dari seorang peneliti di University of Washington, Seattle, yang kalau nggak salah juga sekarang bekerja di Google sebagai peneliti, tapi lupa di Google mana, mungkin Google Seattle ya. Jadi perbedaannya itu adalah metodenya. Metodenya sendiri kalau dulu ada aturan rule-based, jadi semacam… masih di-handcraft sama penelitinya. Tapi kalau yang tesis saya yang mengambil dari peneliti UW Seattle itu benar-benar purely machine learning.

G: Itu berarti bisa buat Bahasa Indonesia juga, atau memang spesifik untuk Bahasa Indonesia, atau bisa generalize ke banyak bahasa?

V: Belum pernah dicoba, dataset-nya waktu itu Bahasa Inggris, belum pernah dicoba ke bahasa lain, tapi kalau mau melatih ke Bahasa Indonesia kemungkinan bisa. Tapi kekurangannya adalah kita belum punya *dataset-*nya. Jadi dataset Bahasa Indonesia corpus-nya itu masih sangat sedikit. Inilah kendala dalam penelitian NLP Bahasa Indonesia. Metodenya mungkin bisa di-generalize ke Bahasa Indonesia, belum ada penelitiannya. Boleh tuh, kalau tertarik.

G: Mungkin kalau temen-temen yang mau skripsi terus pusing nyari bahan skripsi apa mungkin bisa ambil topik ini. Terus selanjutnya sebelum kerja di Google kan Kak Victoria pernah apply di Quora. Kira-kira apa sih yang membuat Kak Victoria waktu itu pengen kerja di Quora?

V: Jadi saya apply di Quora tuh tahun 2017. Saya apply buat internship karena saya belum lulus kan, saya lulusnya 2018. Jadi buat internship saya sempet sampai tahap onsite, cuma waktu itu belum berhasil, ceritanya lebih lengkap ada di Quora. Jadi kenapa saya tertarik, waktu tahun 2017 seinget saya belum ada sih Quora Bahasa Indonesia, jadi sebelum ada Quora Bahasa Indonesia saya juga sering browsing Quora Bahasa Inggris, tentang pengalaman-pengalaman orang, dan di sana juga lumayan banyak tuh profesor-profesor yang menulis, saya juga belajar tentang feminisme dari situ. Jadi saya waktu di Quora Bahasa Inggris lebih banyak jadi pembaca aja sih, silent reader, cuma upvote-upvote, komen-pun nggak. Tapi saya suka situsnya karena memberikan pengetahuan yang banyak. Itu terutama membantu waktu saya tahap mau apply ke S2. Jadi kan walaupun saya udah lulus dari UI cukup bingung juga tuh milih universitas yang mana yang cocok, karena universitas dari Indonesia, gimana cara converse-nya ke sistem Amerika Serikat, gimana kualifikasi saya sudah masuk ke universitas yang mana, apakah saya jangan daftar ketinggian, jangan daftar kerendahan, nah itu saya banyak nyari-nyari di Quora juga. Jadi saya tertarik dengan Quora karena saya suka produknya. Dan yang kedua, Quora kan banyaknya tulisan ya, bahasa, teks. Latar belakang saya di bidang NLP kemungkinan kepake di Quora, ya cuma karena saya nggak dapat, jadi saya nggak tahu gimana kerja di sana. Cuman waktu itu apply sebagai software engineer, general sih.

K: Kita sempet ngobrol juga sama Kak Veni dari Quora, terus dia juga cerita kalau dulu pas dia kuliah di US dia ekspektasinya adalah orang-orang pengennya kerja di tempat gede kayak Google, Amazon, Facebook segala macem. Tapi ternyata setelah di sana kecenderungan orang-orang pengennya kerja di perusahaan mid-sized gitu, yang kayak Quora, makanya dia mulai tertarik ke Quora. Jadi aku pikir kamu juga tertarik karena itu, tapi ternyata karena produknya berarti ya. Sip sip. Terus nih, tentang pekerjaan kamu yang sekarang, ini mungkin kamu udah ditanyain orang berjuta-juta kali, tapi mungkin bisa di-share sedikit nggak cerita tentang gimana sih bisa kerja di Google? Mungkin *application process-*nya seperti apa, *interview-*nya gimana, gitu-gitu?

V: Jadi setelah saya lulus dari US, saya sempet mikir, apakah mau PhD atau mau kerja. Tapi setelah pertimbangan yang matang, saya pikir saya coba dululah kerja di industri. Jadi saya cobalah apply ke Google dan ke beberapa company lainnya. Jadi waktu itu tahap interview-nya lumayan intens. Tapi kan sekalian ya, karena kalau tech company itu pasti seleksinya mirip-mirip, tahap interview-nya pasti ada tech interview, jadi persiapan *coding-*nya bisa dipakai buat semua perusahaan. Terus cara mendaftarnya itu sebenarnya standar, artinya saya nggak macem-macem, maksudnya standar itu saya buka situs career.google.com, kemudian saya pilihlah role yang saya mau apply, software engineer, kemudian setelah saya melalui proses yang namanya resume screening, orang HR dari Google menghubungi saya balik. Jadi saya cuma apply, kirim CV, masukkin CV, udah langsung send. Terus mungkin karena Google lumayan melihat universitasnya ya, jadi UT Austin itu termasuk universitas yang cukup bagus untuk computer science di Amerika, di Amerika termasuk 10 besarlah. Saya dapat panggilan dari Google, dari HR, saya di-interview, saya dapat coding test, coding sample, yang merupakan coding online di laptop gitu tapi bukan real-time, jadi saya dikasih waktu berapa terus saya kirim. Sebenarnya saya harus lewat beberapa tahap sih, seinget saya di Google itu tahap pertama interview, terus bisa dua atau tiga kali phone interview, tech interview, baru dipanggil onsite. Tapi entah kenapa waktu itu saya dianggap, mungkin kualifikasinya cukup cocok dengan di sana, dengan Google, jadi saya langsung dipanggil onsite. Untuk menentukan jadwal onsite-nya sendiri saya yang menentukan, karena mereka mau saya tampil semaksimal mungkin, kan. Jadi terserah kamu butuh persiapan berapa lama, kata mereka gitu. Jadi saya kalau nggak salah, seinget saya Oktober 2018 itu interview onsite. Saya daftarnya September jadi sebulanlah, saya udah lulus Mei kan, waktu masih tinggal US, pulang, saya punya saudara di sana, jadi saya tinggal sama saudara saya, terus saya latihanlah coding tiap hari untuk persiapan onsite interview Google. Selain itu juga baca-baca buku yang saya rasa semua orang tech udah tau yaitu Cracking the Coding Interview oleh Gayle Laakman. Terus saya onsite interview di Sunnyvale, bukan yang di Mountain View. Itu empat sesi *interview-*nya, dua sebelum makan siang, makan siang diantar sama karyawan Google keliling-keliling, ngobrol-ngobrol, kemudian dua lagi interview, jadi empat totalnya. Masing-masing 45 menit dan itu whiteboard interview, saya nulis algoritma segala macem itu di papan tulis pakai marker, dan nggak bisa di-compile jelas-jelas. Itu 45 menit tapi ya tegang sih tegang, tapi saya harus maintain, keep chill supaya tetep bisa berpikir dengan jernih. Dan yang penting itu tanyalah yang banyak sama *interviewer-*nya **karena interviewer itu tidak menjatuhkan kita. Mereka nggak akan… kalau kita stuck, mereka akan kasih hint yang membantu kita dan kita harus mengikuti hint mereka. Jadi pertama-tama tanyalah sebanyak mungkin soal *problem-*nya, *problem statement-*nya. Kadang memang sengaja *problem statement-*nya dikasih agak ambigu, karena mereka mau memancing komunikasi dari kita. Kita sebagai software engineer tuh dinilai komunikasinya harus baik, sementara stack dan *requirement-*nya itu belum penuh, kita harus bertanya terus, ini gimana? Itu gimana? Kita asumsi kasusnya begini, kasusnya begitu. Lebih baik tanya yang jelas, baru coding di whiteboard. Nah cuma waktu itu saya setelah Oktober 2018 itu saya interview, November 2018 saya dibilang ternyata belum ada posisi di Mountain View. Karena nggak ada posisi di Amerika, ya udah saya pulang, gitu. Ternyata waktu Desember, saya ditawarin lagi, masih mau nggak kerja di Google? Ya udah saya mau, waktu itu saya ditawarinnya di London atau Dublin karena yang buka lowongannya di situ. Terus saya nanya, kenapa London atau Dublin? Saya pikir bisa aja di Singapur, atau di Asia lain yang jangan terlalu jauh lah ya, Australia. Tapi karena bukanya di situ ya udah lah ya, saya nggak banyak minta, namanya juga Google, perusahaan impian. Terus… ya udah saya mulai latihan lagi, tapi ternyata ada satu tim yang butuh saya, yaitu tim yang sekarang saya kerjakan, yaitu Android Machine Learning. Ternyata mereka butuh orang. Jadi manajernya yang sekarang jadi manajer saya waktu itu interview saya, dan untunglah saya nggak pernah coding interview lagi, jadi langsung diwawancara nanyain semacam struktur data dan algoritma, pertanyaan-pertanyaan basic tentang struktur data, kemudian saya diterima. Tapi waktu itu saya sudah terlanjur diminta mengajar di Fasilkom UI. Itu karena sebenarnya saya masih nunggu-nunggu Google, saya juga sempat apply di perusahaan Indonesia karena nggak yakin bisa dapet Google. Saya nggak tau masih harus *tech interview* lagi apa nggak. Jadi waktu itu dekan saya Bu Mirna malah minta jadi dosen, saya daftarnya jadi TA, asisten dosen. Jadi ya udah saya ngajar satu semester sampai Juni waktu itu, terus Juni berangkat ke London. Jadi saya mulai kerja bulan Juni. Sekarang udah empat bulan lebih lah ya.

K: Panjang juga ya berarti prosesnya. Itu total dari proses interview kan bulan September, terus baru akhirnya kerja itu tahun depannya?

V: Iya. Saya apply September, interview Oktober, baru kerja Juni. Itu karena sayanya yang minta Juni, karena saya ngajar satu semester, masa ngajar di tengah jalan cabut nggak mungkin. Terus ngurus visa lumayan lama kan. Waktu itu saya sempat minta transcript. Jadi kalau di US *transcript-*nya itu nggak dipegang sama kita.

K: Oh gitu?

V: Nggak kayak di Indonesia. *Transcript-*nya harus pesan khusus. Waktu itu ngirim dari US ke Indonesia sempet hilang kalau nggak salah *transcript-*nya, jadi saya harus pesen lagi. Mulai stres, kan. Ini padahal untung proses visa perlu *transcript, transcript-*nya harus hard copy yang ada cap universitasnya. Jadi di situ lama sambil nunggu proses apply visa.

K: Terus dulu ngajarnya apa sih pas di UI?

V: Waktu di UI ngajar Matematika Dasar 1, itu Kalkulus, tapi kelasnya kelas besar, jadi dosen senior yang pegang kelas besarnya, saya sebagai tutor. Jadi hari Senin kelas besar materi, hari Rabu itu tutorial, latihan soal-soal. Saya dan empat apa lima dosen muda lainnya pegang tutorial. Satu lagi saya ngajar kelas internasional, Intelligence Systems, yaitu Sistem Cerdas atau AI. Ngajarnya juga separo-separo, jadi saya bagi dua sama dosen di sana, senior saya, Kak Aruni. Itu separuh semester pertama yang ngajar Kak Aruni, terus setengah semester berikutnya setelah UTS itu baru saya yang ngajar. Bagian saya itu lebih ke machine learning, probabilistic reasoning, machine learning, agent.

K: Galuh nggak sempet diajar sama Victoria, ya?

G: Nggak sempet kayaknya, udah keburu lulus deh kayaknya waktu itu. Aku penasaran ini sih, tadi kan waktu Kak Victoria daftar internship di Quora kan belum berhasil, tapi kan di Google berhasil nih. Nah, persiapan untuk Quora sama Google waktu itu bedanya apa sih? Apakah waktu daftar Google ada more practice, atau mungkin more mock interviews, apa sih yang membedakan persiapannya?

V: Iya more practice sih itu yang paling penting. Karena waktu di Quora itu saya termasuk… itu onsite pertama yang saya pernah jalanin di suatu tech company. Jadi saya bukan latar belakang competitive programming. Nah itu cukup membantu sih kalau competitive programming. Saya nggak punya latar belakang competitive programming. Terus karena sambil kuliah *practice-*nya pas-pasan. Tapi kalau yang waktu Google, saya kan udah lulus, jadi saya punya waktu buat latihan terus. Kemudian *mock interview-*nya bukan mock interview lagi malah real interview. Saya kan sambil apply Google sambil apply company-company lain, jadi waktu saya interview sama company lain itu semacam jadi latihan buat saya. Sebenarnya saya serius di tiap interview, tapi kan ada yang berhasil, ada yang gagal, nah kalau gagal saya ambil kenapa saya gagal, evaluasi diri, kemudian ya. Waktu di Google bener-bener ini sih, interviewer-nya itu nggak mengintimidasi, jadi suasananya dibikin tenang, bisa berpikir jernih, itu sih yang paling penting. Dan komunikasi yang baik juga paling penting. Jadi ya bener karena lebih banyak latihan dan pengalaman interviewing sama tech companies.

K: Berarti sekarang masih di Android itu ya, ngerjain produk Android? Sip sip. Terus ceritain dong, yang paling menyenangkan dari kerja di Google?

V: Yang paling saya suka itu office culture-nya sih. Jadi di Google ini walaupun mereka perusahaan besar, tapi mereka tetap menjaga budaya semacam budaya startup, jadi fleksibel, maksudnya boleh datang jam berapa aja, yang penting ada untuk setiap meeting, misalkan ada yang mau datang jam 9 pagi itu boleh, jam 10 boleh, tapi pulangnya disesuaikan. Kalau lebih siang berangkatnya ya lebih malam berangkatnya. Kemudian antara timnya itu auranya itu, atmosfernya itu bener-bener nyaman. Jadi saya kan waktu itu masih baru, tapi mereka membuat saya merasa disambut, feel welcome sama mereka. Kemudian mereka itu sangat diverse, saya kan tim lima orang, semuanya itu dari beda negara, beda ethnicity juga. Jadi bener-bener perusahaan internasional ya, dan mereka mau perhatikan satu per satu karyawannya, jadi saya punya suatu mentoring sama manajer saya. Terus kalau makan siang punya makan siang bareng teammates tiap minggu. Terus kemudian untuk baju bebas, yang penting katanya pake baju. Pake bajunya mau kayak apa aja misalnya saya mau pake dress, saya mau pake kemeja, saya mau pake kaos, itu nggak masalah, yang penting berpakaian. Jadi lebih bisa mengekspresikan diri, nggak diatur kaku gitu. Dan hubungan antara manajer dan teammate itu jenjangnya nggak tinggi. Jadi sama-sama… manajer emang overseeing kami gitu, tapi hubungannya itu deket dan itu office culture yang saya suka banget. Selain itu ya merasa seneng aja sih, puas gitu semacem aktualisasi diri saya tercapai karena kan Google itu perusahaan besar, jadi kayak oh saya merasa saya berkontribusi walaupun kecil sekali, tapi senenglah ya bisa jadi bagian dari Google. Lebih ke bangganya, lah.

K: Terus tadi cerita kalau *teammate-*nya ada 5 orang dan berasal dari 5 negara berbeda, ya. Itu 5 orang stay semua di London juga atau di kantor lain?

V: Stay semua di London. Ini tim kecil, jadi tim kecil mengerjakan produk Android ini, kami duduknya bareng, duduknya sebelah-sebelahan. Jadi kalau mau nanya-nanya tinggal ke sebelah. Tapi nanti tim kami juga berinteraksi dengan tim-tim lain yang ada di London maupun yang di kantor lain. Terutama yang paling banyak di London.

K: Biasanya interaksi sama tim apa aja sih?

V: Hmm… pasti Android, ada yang dengan bagian machine learning, karena saya kan bagian Android machine learning. Tapi saya bagian Android-nya. Nanti machine learning-nya dari tim machine learning.

K: Sip, sip. Bisa diceritain spesifik kayak produknya nggak, ngembangin apa gitu misalkan? Android Now, gitu?

V: Ini kan Google Pixel, ini HP saya Google Pixel. Jadi ini produknya hanya tersedia di Google Pixel. Ini ada baris namanya… lebih ke OS-nya sih, jadi fitur-fitur yang ada di sini, ini adalah aplikasi yang disarankan oleh sistem OS-nya. Jadi misalkan ini app yang sering saya buka atau yang baru saya buka dalam beberapa jam terakhir, itu yang disarankan. Jadi kalau mau klik, di sini aja langsung. Itu bagian yang saya kerjakan. Nanti orang lain kerjakan yang lain. Misalkan di sini Pixel ada fitur namanya Now Playing, jadi misalkan saya pasang lagu, di sekitar saya ada apa, saya kurang tau di HP lain ada apa nggak, tapi… jadi dia bisa kasih tau kita, ini lagu apa sih yang lagi main?

G: Berarti sebelumnya Kak Victoria sendiri udah ada pengalaman di Android, atau baru belajar itu pas kerja di Google?

V: Nggak, saya nggak ada background Android. Kan saya background-nya riset, jadi kebanyakan malah coding untuk riset, misalnya data processing, terus bikin TensorFlow machine learning, numpy, scipy, scikit-learn, lebih ke tools buat machine learning atau NLP. Buat Android-nya sendiri, saya kan pegangnya Java, jadi nggak masalah sih saya bisa Java, yang penting itu aja. Terus lain-lainnya, yang saya denger kan teknologi di Google itu beda dari perusahaan lain. Jadi walaupun saya punya background dari perusahaan lain, tetap aja saya harus belajar lagi di Google, jadi nggak masalah buat saya. Awal-awal sempetlah, pasti harus belajar banyak untuk catch up, tapi bisa kok. Yang penting, jadi menurut saya sih kalau mau kerja di Google yang penting bukan udah menguasai teknologi apa saja, tapi lebih ke cepat belajarnya itu loh. Cepat belajar teknologi baru, cepat baca dokumentasi, baca-baca kode orang lain yang mirip, pengalaman itu yang lebih penting, kemampuan itu yang lebih penting, dari pada menguasai semua tech stack atau teknologi yang tersedia. Karena nggak mungkin juga kan kita bisa menguasai semua tech stack, karena banyak banget di situ. Jadi lebih ke learning skill-nya itu yang harus yang cepet.

K: Kan tadi udah cerita tentang yang enak-enak. Ada sisi kelamnya nggak?

V: Kalau sisi kelam, sebenarnya sih bukan sisi kelam ya. Tapi ya kerja di Google kan boleh dibilang perusahaan IT nomor satu di dunia, yang pastinya demanding, kerjaannya berat. Kita dituntut untuk selalu produktif, selalu fokus dalam kerjaan. Kemudian harus mandiri. Mandiri itu bukan berarti setiap orang bisa bantuin kita walaupun kita punya mentor, punya manajer, tapi bisa jadi masalah yang kita hadapi itu mereka sendiri juga belum tentu bisa bantuin buat kita. Kita harus cari-cari sendiri untuk menyelesaikannya. Jadi lebih ke arah soft skill-nya sih. Saya kan selama ini *background-*nya akademik. Jadi lebih banyak dengerin dosen, terima input dari dosen, terus ya udah kerja-kerja sendiri, nanti lapor lagi, lapor lagi. Tapi kalau di Google nggak bisa seperti itu, harus bisa asertif dan interaktif. Jadi saya kalau boleh dibilang budaya kita di Indonesia ini kan selalu harus respek sama yang lebih tua, lebih senior, senioritas itu matters a lot. Tapi kalau di Google malah kita didorong untuk lebih asertif. Kalau kamu nggak tahu sesuatu, tanyalah sama orangnya, tanya *teammate-*mu dulu. Kalau *teammate-*mu masih nggak bisa bantu, tanya tim lain yang sudah pernah mengerjakan itu mirip. Mungkin orang itu pernah mengerjakan fitur A dan saya mengerjakan fitur B. Fitur B ini baru tapi agak mirip sama fitur A. Saya nanyalah sama orang yang bikin fitur A. Orang itu belum tentu ada di tim saya. Nah, saya harus inisiatif tanya, jadi lebih ke arah tadi, asertif itu. Karena perbedaan budaya, saya harus lebih asertif, biasa kalau di Indonesia kan iya, iya bu, iya, iya pak. Nggak bisa kayak gitu lah kalau di sini. Kita harus asertif dan inisiatif. Lebih ke arah soft skill-nya dan culture shock. Bukan culture shock juga sih, bukan shock tapi cultural difference. Terus sama hidup sendirian. Walaupun saya di US hidup sendirian dua tahun, tapi kuliah itu beda sama kerja. Jadinya bener-bener pengalaman kerja saya yang profesional. Sebelumnya kan akademik terus, jadi ini bener-bener pertama professional life saya, semacam “adulting is hard”, lebih ke situnya sih yang sedikit memberatkan. Tapi lagi-lagi karena atmosfernya bagus dan orang-orangnya suportif, saya merasa terbantu bisa mengatasinya.

K: Tadi kan udah bilang kalau adulting is hard, terus aku penasaran sih kalau misalnya Sabtu Minggu, weekend gitu biasanya kamu ngapain di London?

V: Ngerjain proyek saya yang lain ya. Kebanyakan kalau Sabtu Minggu, karena sebenarnya saya pengen meluncurkan suatu YouTube channel yang kebetulan mirip kontennya sama Kartini Teknologi, jadi membahas perempuan-perempuan nggak cuma teknologi, lebih ke STEM—science, technology, engineering, management… eh sori, math, mathematic. Terus… jadi saya mulai merintis itu, persiapan… yang akan nanti digarap sama adik saya, tapi masih lama. Kemudian saya lebih banyak istirahat, grocery shopping, bersih-bersih rumah, itu kan harus dikerjakan juga, dan kebanyakan karena saya udah lama di kantor ketemu orang, jadi Sabtu Minggu saya malah mau me time. Terus karena terakhir novel saya baru terbit, jadi saya promosi novel, nah itu kan harus persiapan konten juga untuk promosi, nah itu saya lakukan.

K: Nah, itu kebetulan banget tuh, Jakarta Vigilante ya nama novelnya? Bisa diceritain sedikit nggak itu ceritanya tentang apa?

V: Secara singkat itu Batman perempuan di Jakarta. Ya gitu deh. Nah kenapa Batman, bukan Batwoman, karena tokoh utamanya sendiri lebih mirip Batman. Jadi kaya, terus awalnya seenaknya, sombong, tapi akhirnya dia berubah karena dia ingin menolong orang-orang yang dia sayang. Itu sendiri saya sendiri tulis waktu di Amerika Serikat, waktu kuliah S2. Saya sebenarnya udah suka nulis dulu kan, saya sempet mau masuk jurusan sastra inggris malah karena saya hobi nulis. Terus saya udah lama nggak nulis, kuliah di Ilmu Komputer Fasilkom UI tuh nggak sempet nulis. Mulailah saya mikir, ya udah saya nulis lagi di S2, ada waktu luang karena cuma 9 SKS kan setiap semester dan masih ada waktu luang ya udah saya nulis aja. Waktu itu saya lagi suka-sukanya sama serial Marvel yang Marvel Cinematic Universe, terus serial TV seperti Arrow atau The Flash yang punya DC. Terus Indonesia kan belom punya cerita pahlawan tuh, ada sih cerita pahlawan sebenernya tapi udah lama, baru mau dibangkitkan lagi sekarang, baru ada kan dibangkitkan lagi, kemarin baru tayang. Terus kebetulan pas saya nulis belum ada sampe segitunya, jadi ya udah saya bikin aja. Kira-kira seperti itu sih. Tapi dikaitkan dengan masalah-masalah yang ada di Jakarta. Jadi setting-nya bener-bener Indonesia dan dikaitkan dengan masalah-masalah yang ada di Jakarta.

G: Ini menarik sih, karena aku juga suka nulis kan, mirip ceritanya sama Kak Victoria, aku juga suka nulis, sebelum kuliah juga masih nulis fiction, tapi pas masuk Fasilkom UI langsung nggak pernah nulis lagi karena nggak sempet. Jadi bisa relate bangat kayak 4 tahun bener-bener nggak nulis lagi, sampe sekarang juga belum nulis lagi. Salut sih ngeliat Kak Victoria akhirnya bener-bener nge-publish karyanya. Nah aku penasaran sih, dari ceritanya sendiri atau karakternya sendiri ada nggak sih yang terinspirasi dari bidang teknologi?

V: Iya ada. Salah satu tokohnya itu adalah seorang hacker perempuan. Dia adalah sahabat dari tokoh utamanya, namanya Lita. Jadi Lita sendiri terinspirasi dari kehidupan saya di Fasilkom. Ada sedikit karakter yang ngambil dari teman saya, dia itu nggak bisa berkelahi tapi dia yang selalu di balik layar untuk bantu-bantuin Tiara—nama tokoh utamanya Tiara—dan kawan-kawannya yang terjun ke lapangan, Lita yang di belakang layar untuk nolongin mereka. Misalkan lokasinya di mana. Jadi sebenernya tokoh ceritanya cukup terinspirasi dari—kalau kalian tau serial Arrow, dia terinspirasi dari Felicity Smoak. Dan saya suka karena biasanya hacker kan digambarkan sebagai laki-laki, ini sengaja saya bikinnya perempuan.

K: Proses penulisannya sendiri tuh berapa lama ya?

V: Setahun. Jadi dari tahun 2017 awal sampai 2018 awal itu selesai. Itu saya publish di Wattpad. Terus akhir 2018 jadi sekitar September atau Oktober saya dipinang sama penerbit. Jadi penerbit itu kontak saya di Wattpad. Sebenarnya yang dipinang itu cerita lain yang menang Wattys, Wattys itu penghargaan di Wattpad. Tapi saya bilang itu sekuel dari cerita ini, boleh nggak cerita ini yang di-publish? Terus editor saya bilang boleh. Jadi ya sudah yang publish yang ini dulu. Tapi ya diharapkan yang sekuel juga diselesaikan, sih.

K: Mantap, berarti itu nanti kelanjutannya ya. Sip sip. Terus, menurut kamu penting nggak sih punya representasi tokoh perempuan di bidang STEM gitu di cerita fiksi dan kenapa, sih?

V: Ya menurut saya penting, sih. Karena tokoh fiksi kan sebagai bagian dari pop culture sudah sangat masuk banget ke kehidupan kita. Film, lagu, apapun, serial, itu semua udah jadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari dan orang-orang terutama remaja perempuan, sebenernya siapapun sih di usia remaja, biasanya mereka butuh sosok panutan kan, someone to look up to. Dan kadang-kadang mereka biasanaya lebih memandang tokoh-tokoh yang ada di media seperti film-film ini daripada orang di dunia nyata karena lebih keren, misalnya Iron Man bisa terbang whoosh gitu. Nah, jadi untuk tokoh perempuan sendiri biasanya mereka kan kalau ngeliat tokoh perempuan di film itu cuma jadi pacarnya si hero atau sidekick-nya hero dan menurut saya penting untuk punya representasi perempuan dalam bidang teknologi itu supaya mereka liat, oh ternyata bisa kok saya jadi hacker. Oh ternyata bisa juga kok, jadi hacker itu bukan cuma cowok, bisa juga ya cewek? Saya sendiri barusan dapet fakta bahwa ternyata anak-anak di Amerika Serikat sendiri sedikit sendiri perempuan yang mengambil jurusan computer science. Bahkan di Fasilkom UI aja kalau gak salah sepertiga kan, sepertiga masih lumayan. Di Amerika Serikat sedikit sekali. Di Google sendiri juga kalau nggak salah representasinya masih cukup sedikitlah engineer perempuan. Saya lupa tepatnya berapa, sepertiga apa berapa, tapi pokoknya masih sedikit. Jadi perlu buat menginspirasi remaja-remaja supaya mereka tau bahwa oh ternyata tech itu bukan cuma bidangnya cowok, oh ternyata cewek bisa masuk tech, dan mereka juga nggak usah takut temen-temennya banyakan cowok atau gimana karena ya nyaman-nyaman aja sih sebenernya karena bisa-bisa saja cewek… apalagi stereotipe bahwa cewek itu emosi, cowok itu logika, nah itu sebenernya nggak tepat, karena tergantung sama individualnya. Saya juga punya teman cewek yang logis, cowok yang emosional, itu juga ada walaupun mungkin bukan umumnya seperti itu, tapi bisa. Apalagi kalau dilatih, bisalah logika dilatih. Jadi kayak… perlu lah.

K: Berarti boleh nggak sih aku bilang kalau novel kamu ini salah satu percobaan untuk mengenalkan dunia teknologi juga ke lebih banyak perempuan?

V: Hmm… sebenernya iya, bisa juga, lebih ke arah women empowerment on a whole, bukan cuma dalam bidang teknologi. Tokoh utamanya sendiri kan, Jakarta Vigilante-nya tuh perempuan, jadi saya mau menunjukkan bahwa perempuan bisa jadi hero dan perempuan bisa jadi hacker. Jadi nggak selalu, kalau sekarang kita lihat film-film Marvel Cinematic Universe salah satu yang filmnya tokoh utamanya perempuan. Black Widow aja nggak pernah punya film sendiri, di DC EU cuma satu Wonder Woman, yang cowoknya lima gitu di Justice League, lima apa… terus ceweknya cuma satu, Wonder Woman. Jadi we need more… lebih banyak perempuan, paling nggak sama-lah, tiga tiga, jangan cuma lima satu atau berapa. Itu sih yang lebih ingin saya promosikan. Di Jakarta Vigilante ada cowoknya juga kok. Cuma bukan berarti cowoknya cuma jadi cowok yang lemah gitu bukan, bukan berarti dibalik perannya ceweknya yang kuat cowoknya lemah nggak, mereka pokoknya saling membantu sih, lebih kesataraan relasi.

K: Terus kamu sendiri kan tadi katanya suka banget sama ini yah, superhero yah. Ada nggak sih tokoh superhero yang kamu jadiin role model banget gitu selama ini?

V: Ada, ironisnya itu cowok. Iron Man sih, lebih ke arah panutan saya. Karean Iron Man itu kan jago teknologi, dia punya kekuatan karena mereka pintar, bukan karena mereka sintuk serum, atau dia alien atau dia kena batu apa yang bikin dia jadi kuat, nggak, tapi karena dia pinter. Jadi dia menggunakan kepintarannya untuk memperkuat dirinya. Terus kemudian sifatnya yang agak-agak seenaknya menarik sih buat saya. Bukan berarti saya seperti itu tapi kayak hmm… okelah, nggak bosen hero yang selalu baik kayak Superman atau Captain America. Sekali-kali nyeleneh dikit nggak apa-apalah. Saya pengen liatnya cewek yang seperti Iron Man, tapi bukan counterpart-nya, tapi bener-bener seperti Iron Man tapi cewek. Itu yang pengen saya liat.

K: Terus ini, kamu kan banyak banget interest-nya, kayak suka main Quora, nulis, bikin novel gitu kan. Nah ceritain dong gimana cara pandang kamu terhadap karir dan itu gimana sih ngebaginya antara… kamu tetep commit ke day job kamu, terus tetep nulis di Wattpad atau tetep main Quora juga?

V: Nah di sini salah satu yang saya suka dari Google itu leave work at work. Jadi kalau udah selesai jam kerja, nggak usah sentuh kerjaan lagi. Nggak perlu lembur. Lembur itu nggak diwajibkan, ya kalau mau boleh-boleh aja tapi nggak diwajibkan. Nah itu yang saya suka, karena waktu saya kuliah nggak bisa itu leave study at campus itu nggak mungkin banget, pasti pulang-pulang harus ngerjain tugas, apalagi yang Fasilkom pasti tahu lah ya. Terus Sabtu Minggu tetep harus ngerjain tugas, kecuali ya mau mengorbankan nilai, saya nggak bisa. Di sini saya punya kesempatan untuk tetap menjalankan hobi saya. Sebenarnya saya mulai dari S2 sih, jadi waktu nulis Wattpad itu saya S2 kan, itu saya punya waktu luang. Sekarang saya belum nulis lagi sebenarnya di WhatsApp, belum lanjut lagi karena masih adjustment yang lumayan lama, masih sibuk hal-hal lain, jadi saya nulis di Quora. Menulis di Quora itu menurut saya lebih mudah karena saya menulis pengalaman hidup. Kalau fiksi susah kan karena harus penjiwaan, harus mikirin plot, dan segala macem. Tapi kalau di Quora kan saya cuma bersumber dari apa yang saya pernah alami atau pengetahuan yang sudah saya miliki. Jadi cuma kaya membagikan ulang, gitu. Menurut saya menulis itu refreshing jadi nggak masalah. Membagi waktu sendiri kalau di Quora itu saya lebih aktif waktu saya jadi dosen di UI. Itu saya udah cape banget, nggak bisa ngapa-ngapain lagi, mau maksa nulis fiksi nggak bisa ya udah saya nulis di Quora. Itu malem-malem habis pulang kerja. Kalau sekarang saya udah nggak sesering itu nulis di Quora-nya karena lebih fokus ke hal lain yaitu mempersiapkan proyek saya yang selanjutnya yang tadi bikin YouTube channel, bikin konten di Instagram, promosi novel dan lain-lain. Lebih ke situ sih. Kalau waktu luang saya kerjakan hobi, itu aja sih.

K: Oke. Terus selain Quora, selain nulis, kamu juga kan suka hal-hal yang berbau Korea atau fashion juga kan ya. Padahal bisa dibilang kalau dua hal tersebut kan mungkin nggak terlalu erat kaitannya dan nggak terlalu populer di kalangan orang teknologi, gitu. Aku penasaran kayak how do your hobbies itu dan gimana sih, biasanya ngobrolin tentang hobi itu sama siapa?

V: Sebenernya pandangan yang perlu diluruskan, karena setau saya di Fasilkom UI itu juga banyak kok yang suka Korea. Yang cewek-cewek yang terutama. Saya malah punya temen yang kalau lagi antar kelas malah nontonin girl band gitu atau hapal tiap drakor, gitu, Drama Korea. Saya nggak sampe sefanatik itu tapi lumayan. Saya suka drama korea sejak masih umur remaja gitu lah. Nggak terlalu fanatik, cuma masih bisa di hitungan jari. Sekarang lagi suka K-Pop. Tapi… ya saya emang nggak ngomongin itu sama orang tech, nggak ngomongin di kantor, tapi saya punya komunitas sendiri buat ngomongin itu, jadi kebetulan ada… beberapa pembaca saya, saya punya komunitas pembaca di Wattpad, itu mereka suka juga Korea, jadi bisa ngomong sama mereka. Terus saya juga punya adik, nah adik saya juga suka jadi bisa ngobrol sama adik.

K: Terus ngomongin fashion nih, kamu biasanya suka style-nya apa sih, atau brand yang paling kamu suka pake apa aja sih?

V: Kalau fashion, saya lebih niru macem-macem sih, saya kombinasi. Jadi misalkan saya liat Korea, saya suka, saya contoh. Terus lebih banyak ke Disney juga, misalkan Disney di film-film itu saya juga contoh. Brand sendiri juga nggak ada yang spesial, pokoknya yang bagus dan cocok, harganya reasonable, ya udah saya beli. Jadi sekarang saya lagi kepengen menjalankan hobi Disneybounding, yaitu cosplay tokoh-tokoh Disney tapi pake baju sehari-hari. Karena kalau pake baju bener-bener kayak baju Snow White kan kayak aneh dan nggak akan kepake lagi. Misalnya kalau mau cosplay jadi Snow White saya misalnya pake baju atau kemeja biru, terus nanti roknya kuning, terus pake bando merah. Semacam buat refreshing dan mengasah kreativitas. Namanya juga kan hobi.

G: Kalau misalnya temen-temen pengen beli bukunya Kak Victoria bisa beli di mana atau bisa pesen di mana?

V: Ada beberapa yang masih di Gramedia itu masih ada, mungkin nggak di semua Gramedia sih tapi ada beberapa yang masih ada itu bisa, atau di Shopee, Bukalapak, Tokopedia, jadi online shop itu ada. Atau mungkin bisa coba tanya ke penerbit saya di akunnya Aria Media Mandiri, ya pokoknya cari dulu di online shop, kalau di Gramedia nggak ada cari di online shop, kalau nggak ada lagi baru tanya.

K: Nah tuh temen-temen kalo misalnya mau cari bukunya Kak Victoria bisa cari di situ. Oke, terakhir nih. Ada pesan-pesan untuk para pendengar Kartini Teknologi, nggak?

V: Untuk para pendengar, terutama untuk yang perempuan, nggak perlu takut untuk masuk ke bidang teknologi atau STEM. Kalian bisa kok. Dan buat pendengar lainnya yang secara umum, dream big and work hard to achieve it, jadi nggak usah takut untuk bermimpi terlalu tinggi, kayak ah nggak mungkin saya nggak bisa, saya paling nggak suka mentalitas seperti itu. Karena bisa kok, bisa. Dan kalau kalian memang ada tekad pasti ada orang-orang baik yang akan membantu kalian. Jadi beranilah bermimpi tapi jangan cuma bermimpi, kerja kerasnya jangan dilupakan, harus kerja keras juga untuk mewujudkannya. Dan kalau udah sampai di atas, jangan sombong, jangan lupakan jasa orang yang pernah membantu kita, kita harus selalu kontribusi balik ke masyarakat, bantulah orang-orang yang… kita pay it forward, kita bantuin orang-orang yang mau maju seperti kita. Dan terakhir, jangan lupa istirahat dan take things slow, itu lebih ke arah self-reminder sih karena ya saya banyak banget proyek, saya maksain diri kadang jadi jatoh sakit juga, itu lebih ke arah self-reminder untuk orang-orang yang terlalu ambisius, jangan lupa istirahat.

K: Pesannya sangat mengena sekali. Oke deh kalau gitu, oke kayaknya kita udah semua sih, jadi makasih banyak ya Victoria udah mau diajakin ngobrol-ngobrol, seneng banget. Terima kasih juga penjelasannya tentang novel terbarunya, semoga sukses selalu. Yeah, see you later in the Internet.