Kiki (K): Halo! Selamat datang kembali di podcast Kartini Teknologi.

Galuh (G): Hi! Selamat datang kembali di acara kami.

K: Jadi, episode ini adalah episode pertama kami dengan tamu dan kami kedatangan tamu yang spesial hari ini, Amy Wibowo. Hi Amy, apa kabar?

Amy (A): Hi, terima kasih sudah mengundangku.

G: Terima kasih sudah mau datang ke acara kami. Kami berdua ngefans banget dengan karya-karyamu, jadi kami senang banget dengan kehadiranmu di sini.

K: Jadi Amy ini adalah seorang lulusan MIT dan sebelumnya ia bekerja sebagai pengembang web di Airbnb. Ia juga bekerja sebagai peneliti pembelajaran mesin di Honda Research Institude di Jepang, HCI research di University of Tokyo, dan sekarang mengelola bisnis zine-nya yang bernama Bubblesort Zines secara purna waktu. Bubblesort Zines adalah zines yang menjelaskan konsep-konsep ilmu komputer dengan menggunakan gambar dan cerita. Aku sendiri pertama kali tahu Amy lewat Twitter, ketika beberapa orang di linimasaku menggunakan jaket bomber bertuliskan Git It Gurl dan aku penasaran banget tentang itu. Ketika tahu bahwa kreator dari jaket tersebut adalah seorang perempuan Indonesia, saat itu aku pikir aku harus mengundang Amy ke acara ini suatu hari. Dan aku rasa mimpiku terwujud hari ini. Jadi kita senang banget ada Amy di sini.

K: Dan aku juga tahu Galuh suka banget dengan proyek-proyek sampinganmu. Oke deh, boleh tolong cerita nggak tentang dirimu, seperti asalmu dan hal-hal apa yang kamu sukai?

A: Tentu, jadi aku sekarang tinggal di San Francisco tapi aku lahir di Jakarta. Keluargaku pindah ke Amerika Serikat ketika aku berumur dua tahun. Aku suka bersepeda, teh, fashion, pendidikan ilmu komputer, dan Indomie.

K: Kita semua suka banget dengan Indomie. Oke, boleh cerita nggak tentang pengalaman-pengalamanmu sebelumnya sebagai seorang pengembang web dan peneliti, apa sih yang kamu kerjakan dulu dan apa yang membuatmu pindah ke bisnis zine?

A: Tentu, jadi di Airbnb aku ada di tim Growth and Internationalization. Aku sendiri merupakan founding-member dari tim itu. Tujuan dari tim tersebut adalah, karena Airbnb sedang mencoba untuk berkembang di negara-negara dan market-market lain yang mempunyai budaya dan kebiasaan berbeda tergantung dari negara asal mereka, kami ingin memastikan bahwa Airbnb mempertimbangkan dan mengakomodir perbedaan-perbedaan tersebut seiring dengan berkembangnya Airbnb di market-market berbeda. Jadi itu menarik banget. Di Honda aku bekerja di tim ASIMO yang membuat robot humanoid setinggi empat kaki (sekitar 1.2 meter), aku mengerjakan sistem reinforcement learning yang mengambil video feed dari ASIMO dan menganalisis emosi dari orang, apakah orang tersebut terlihat frustrasi atau senang, bisa mengubah bagaimana ASIMO melaksanakan tugas yang diberikan. Sementara itu di University of Tokyo, aku mengerjakan antarmuka untuk mendesain pakaian yang berbasis motion-capture, kamu bisa melilitkan pakaian itu di manekin dan alat tersebut dapat menangkap model jahitan dan kamu dapat merubah model tersebut menjadi pola yang bisa kamu gunakan untuk menjahit. Kamu tinggal mencetak pola tersebut dan menjahitnya. Yang membawaku ke bisnis zine adalah, aku senang banget mempelajari hal-hal yang baru dan berbeda dan aku cepat banget bosan sehingga aku suka mengganti apa yang aku lakukan beberapa tahun sekali. Dan aku mempunyai banyak ide terkait edukasi ilmu komputer yang ingin aku coba. Jadi, setelah beberapa tahun aku bekerja di Airbnb, aku meninggalkan Airbnb untuk memulai bisnisku.

G: Kamu kan peduli banget dengan edukasi, khususnya edukasi di bidang Science, Technology, Engineering and Mathematics (STEM). Kamu juga bilang di situsmu bahwa kamu ingin membingkai ilmu komputer dengan cara yang lebih mudah diakses dan inklusif bagi orang-orang yang mungkin berpikir bahwa nggak ada tempat untuk mereka di ilmu komputer. Apakah kamu bisa cerita sedikit tentang dari mana kekhawatiran tersebut datang, dan kapan tepatnya kamu memutuskan bahwa ini adalah hal yang ingin kamu kerjakan?

A: Aku ingat di kelas komputer ketika aku SMA dulu, tiap kali ada komputer yang rusak, guruku akan selalu kesal dengan kami karena rusaknya komputer tersebut. Banyak orang di kelasku, ketika komputer mereka rusak dan guruku marah dengan mereka, akan meminta maaf dan berkata “maaf, aku memang nggak begitu mengerti komputer”. Padahal kerusakan tersebut adalah salah dari komputer itu sendiri, dan aku merasa sedih orang-orang berpikir bahwa mereka tidak pintar dalam bidang komputer karena itu. Aku juga merasa bahwa kelas-kelas ilmu komputer kebanyakan ditujukan untuk orang-orang yang sudah tahu bahwa mereka suka pemrograman dan komputer. Seperti misalnya, kurikulum dari kelas AP Computer Science. Jadi, AP adalah semacam kurikulum terstandardisasi di Amerika Serikat. Kurikulum ilmu komputer mereka dimulai dengan topik pemrograman berorientasi objek. Apabila kamu tidak pernah melakukan pemrograman sebelumnya atau belum tahu apakah kamu suka pemrograman atau tidak, menurutku itu adalah tempat yang buruk untuk memulai. Aku rasa aku dapat membuat orang-orang tertarik dengan ilmu komputer melalui proyek-proyek menarik, proyek-proyek yang menggabungkan seni, musik, fotografi, dan program-program yang menunjukkan bahwa komputer sebenarnya hanyalah alat untuk kreativitas. Dan aku rasa akan lebih banyak orang yang tertarik apabila kita membingkai ilmu komputer dengan cara tersebut.

K: Tentang bisnis zine-mu, bagaimanakah proses kreatif di balik pembuatan zines-mu dan apakah nanti akan ada edisi baru?

A: Proses kreatifnya berbeda dari hari ke hari, tapi ketika kamu sedang menulis sebuah buku atau zine, aku sangat terbantu dengan fakta bahwa aku juga berbagi ruang studio kreatif dengan empat orang lainnya. Ada yang merupaka programmer, ada juga yang merupakan ilustrator. Semua orang di ruang tersebut sangat kreatif sehingga mereka membuatku merasa terinspirasi, dan itu membantu kreativitasku untuk terus mengalir. Selain itu, karena aku juga menulis dan membuat ilustrasi sendiri, maka apabila aku merasa suntuk menulis aku dapat beralih mengerjakan ilustrasi dan sebaliknya. Saat ini aku sedang mengerjakan sebuah zine tentang sistem operasi, dimulai dari arithmetic logic unit (ALU), kemudian prosesor yang sangat dasar, dan sistem operasi ini yang dibangun dari prosesor tersebut. Aku ingin penjelasannya dapat dimengerti di tingkat sekolah menengah atas karena aku ingat, ketika aku kuliah dulu, aku terlalu takut untuk mengambil kelas sistem operasi karena aku merasa topik itu terlalu sulit untukku. Aku juga merasa beberapa ada beberapa subjek ilmu komputer terlalu sulit untuk dipelajari seperti kompiler dan sistem operasi dan aku ingin merubah itu.

G: Aku setuju banget karena aku merasakan hal yang sama dengan kelas sistem operasiku. Pada saat itu kelasnya memang wajib untuk diambil tapi aku merasa aku nggak bakal mengerti karena kelihatannya terlalu rumit. Aku baru sadar beberapa saat kemudian bahwa ternyata sistem operasi itu keren banget dan sangat bisa dipelajari andaikan saja diajarkan dengan cara lain. Di sistem pendidikan di Indonesia sendiri kebanyakan kamu hanya diberitahu bahwa “ini adalah sesuatu yang harus kamu hapalkan” tanpa diberikan konteks mengapa ini penting dan hubungan hal tersebut dengan aplikasi di dunia nyata. Jadi aku senang banget untuk melihat bagaimana kamu akan menangani topik ini dan aku juga senang banget siswa-siswi sekolah menengah atas juga bisa mengerti lebih banyak tentang hal itu.

A: Terima kasih, mungkin nanti aku akan kirim ke kamu agar kamu bisa menjadi test reader.

G: Asik!

K: Jadi, aku rasa kita semua tahu bahwa dunia teknologi identik dengan maskulinitas, dan Amy, kamu menantang stereotip ini dengan kreativitasmu yang menurutku terlihat lebih feminin dengan banyak warna pastel. Aku juga melihat banyak orang menggunakan cara-cara kreatif untuk memperkenalkan konsep teknologi yang rumit, misalnya di MDN Web Docs, Lin Clark sering memperkenalkan bagaimana suatu konsep teknologi bekerja dengan menggunakan kartun. Ada juga yang berbentuk buku untuk anak-anak. Menurutmu bagaimana karyamu berkontribusi ke gerakan tersebut dan seperti apakah masa depan nanti?

A: Sebelumnya, aku mau bilang bahwa aku suka banget dengan karya-karya dan kartu-kartun yang dibuat oleh Lin Clark. Mereka mudah sekali untuk dimengerti. Aku suka dengan seluruh usaha kreatif yang ada baru-baru ini untuk mengajarkan orang-orang tentang teknologi, baik itu melalui kartun, atau… aku tidak tahu apakah kamu pernah melihat sekelompok perangkat untuk mengajarkan programming dengan menggunakan tongkat sihir yang dibuat Kano, jadi ada tongkat sihir yang bisa kamu program, agak seperti Harry Potter gitu, dan aku senang ada banyak usaha untuk memperkenalkan teknologi dengan cara yang kreatif. Buatku sendiri, hal ini menunjukkan bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan apa yang sedang aku lakukan sekarang. Banyak orang melakukannya dengan pendekatan yang berbeda-beda dan aku pikir di masa depan nanti, teknologi akan memiliki lebih banyak pastel, glitter… holografik, dan aku harap akan lebih terdekolonisasi dan lebih menyoroti kontribusi-kontribusi dari people of color. Dan aku rasa masa depan teknologi nanti akan lebih immersive dan hands-on, atau bahkan mungkin hands-on secara harfiah melalui virtual reality.

K: Apakah kamu punya rencana untuk menggunakan virtual reality (VR) atau augmented reality (AR) di masa depan nanti?

A: Aku nggak punya rencana spesifik untuk VR dan AR di waktu dekat ini, namun aku punya ide-ide untuk video, seri video, atau situs interaktif. Aku rasa akan keren apabila aku bekerja dengan VR dan AR namun aku tidak ingin terpaksa melakukannya, sehingga apabila ada ide yang muncul dan aku rasa itu akan cocok dikombinasikan dengan AR maka aku akan mencobanya.

K: Mari kita berbicara tentang model bisnismu. Aku lihat kamu memulai bisnismu dengan sebuah laman Kickstarter. Bagaimana awalnya kamu membangun audience-mu dan bagaiamna kamu mengatur model bisnis yang memungkinkan kamu untuk melakukannya secara purna waktu?

A: Aku sebenarnya beruntung karena sebelum aku membuka kampanye Kickstarter tersebut, aku menghabiskan sekitar satu atau dua tahun sebelumnya untuk memberikan conference talk tentang sebuah proyek di mana aku meng-hack mesin rajut di sebuah hackathon. Jadi aku mempunyai banyak teman-teman di Twitter dan media sosial yang aku temui di berbagai konferensi, jadi itu membantu banget ketika aku membuat Kickstarter dan memulai bisnisku. Untuk bisnis modelnya sendiri, Kickstarter tentu membantu rencana-rencana awalku dan aku juga sudah menyimpan uang yang aku dapat ketika bekerja purna waktu. Ketika aku memulai, satu hal yang aku temui adalah, apabila kamu membuat bisnis berbasis edukasi, seringkali pasarmu adalah siswa dan guru, di mana mereka adalah termasuk kelompok orang-orang yang tidak dapat banyak funding. Kebanyakan siswa-siswi tidak punya banyak uang dan aku tidak tahu bagaimana kondisinya di Indonesia, tapi di Amerika Serikat, guru-guru tidak dibayar dengan cukup dan bahkan beberapa guru harus membayar sendiri suplai-suplai di kelas mereka dan itu buruk sekali. Merekalah audience dari materi-materi edukasi. Aku menemukan bahwa aku perlu mendukung bisnisku dengan membuat pakaian. Kebanyakan orang yang membeli pakaian tersebut adalah orang-orang yang sudah bekerja purna waktu sebagai software engineer dan mereka memiliki uang untuk membeli pakaian tersebut. Dan pakaian tersebut membantu sisi edukasi dari bisnisku yang agak sulit untuk didapatkan pembiayaannya.

K: Wah aku sendiri cukup kaget bahwa hal tersebut terjadi di Amerika Serikat, karena aku pikir itu hanya terjadi di Indonesia. Mari kita berbicara tentang inovasimu, yaitu cincin Clipper Card yang aku rasa Galuh ingin tahu juga. Bisa cerita nggak bagaimana idemu muncul?

A: Tentu, jadi aku merupakan orang yang pelupa, aku selalu kehilangan barang-barang sehingga ketika aku masuk atau keluar dari stasiun kereta bawah tanah, aku biasanya suka mencari-cari kartuku padahal aku tahu kartunya ada di dompetku. Kadang-kadang aku menghambat antrian dan membuat orang-orang menunggu di belakangku. Jadi, aku pikir akan lebih mudah apabila aku punya sesuatu yang ada di tanganku setiap saat, jadi aku tinggal tap ke gate kereta bawah tanah. Aku ngobrol dengan temanku Sam yang merupakan engineer di Etsy, dan telah membuat perhiasan RFID sebelumnya dan menulis tutorial di Internet. Karena kartu transit itu terbuat dari plastik, kita bisa melelehkannya dengan penghilang cat kuku, dan kamu dapat mengakses RFID dan antena di dalamnya. Kamu dapat merubah bentuk dari antena tersebut dan membuatnya menjadi lebih kecil. Hal ini akan membuat jangkauannya lebih kecil, tapi masih bisa dibaca dengan pembaca kartu. Kemudian aku memasukannya ke dalam cincin resin.

G: Apakah kamu menemukan hambatan ketika membuat cincin itu dan bagaimana kamu mengatasinya?

A: Cincin pertama yang aku buat tidak berfungsi. Itu membuatku frustrasi karena aku sudah punya pembaca NFC dan cincinku bekerja dengan baik sampai di tahap terakhir, jadi agak sulit untuk tahu apa yang terjadi. Di tengah-tengah rasa frustrasi itu, aku menulis tweets tentag prosesnya dan rasa patah semangatku karena cicinku tidak bekerja di tahap terakhir. Aku ingin jujur tentang prosesku karena kadang-kadang kita tidak berhasil di percobaan pertama, seringkali tidak sukses di percobaan pertama. Banyak orang di Twitter memberikan berbagai ide, banyak ide yang sangat membantu sekali. Temanku Sam menyarankan untuk melindungi antenanya dengan selotip, karena kabel-kabel antenanya itu rapuh sekali. Ketika aku melakukannya dan mencobanya lagi, cincinnya berfungsi. Jadi, meskipun aku agak takut untuk menunjukkan kegagalanku di Internet, aku merasa itu sangat worth it karena orang-orang memberikan banyak saran yang sangat membantu.

G: Apakah kamu sudah dapat respons dari penyedia transit di Bay Area, seperti apakah mereka tidak keberatan kamu memodifikasi Clipper Card-mu atau apakah mereka ada peraturan tentang itu?

A: Hal itu memang sesuatu yang aku agak khawatirkan karena aku tahu beberapa negara punya peraturan-peraturan yang berbeda, dan beberapa orang perlu membayar denda yang besar karena mereka memodifikasi kartu mereka. Tapi, ketika aku membuat post tentang proyek ini, Bay Area Rapid Transit—sistem kereta bawah tanah di SF—mereka justru me-reshare proyek itu di Twitter. Aku kaget dan senang banget melihatnya. Tapi beberapa menit kemudian mereka bilang bahwa “tapi kami tidak mendukung hal ini” dan setelah ngobrol dengan mereka… lucu juga ketika aku tahu bahwa, ketika mereka sedang nge-tweet denganku, mereka juga sedang ngobrol langsung dengan kepala pemeriksa tarif dan mereka memutuskan bahwa, selama cincinnya memang masih bisa di-scan seperti biasa, mereka akan menganggap itu valid. Jadi itu menyenangkan sekali.

K: Apakah kamu punya rencana untuk menjual cincin itu, atau apakah ini hanya proyek sampingan yang prosesnya akan kamu buka ke semua orang sehingga mereka bisa membuatnya sendiri?

A: Ya, jadi rencanaku adalah untuk membagian instruksi tentang bagaimana mereka dapat membuatnya sendiri.

G: Kalau bisa mungkin aku bisa bikin dengan kartu Commuter Line-ku untuk kereta, tapi aku belum tahu apakah akan dibolehkan atau nggak jadi kita lihat saja nanti. Tapi aku pengen banget untuk mencobanya, ditunggu ya tutorialnya.

A: Tentu, nggak sabar untuk lihat apa yang akan kamu buat.

K: Menurutku apa yang aku lihat dari karyamu adalah kamu sangat intensional dan otentik dengan apapun yang kamu lakukan. Aku penasaran, bagaimana kamu dapat seberani dan sejujur itu? Aku rasa aku akan merasa sulit untuk memutuskan pindah dari industri teknologi, bagaimana kamu menemukan keberanian untuk melakukan hal lain?

A: Sebelumnya terima kasih banyak, senang sekali mendengarnya. Aku rasa keberanian untuk benar-benar menjadi diriku sendiri adalah sebagian karena aku lelah harus berpura-pura tidak menjadi diriku sendiri sepenuhnya. Sebagian lagi karena privilese yang telah aku kumpulkan dari pengalaman dan kredensial sehingga aku bisa mengambil resiko itu. Sebagai contoh, di pagi hari di mana aku pergi untuk wawancara **pekerjaan terakhirku… aku merasa telah memilih pakaian yang bijak dan praktis dan aku pikir aku sudah terlihat sebagai seorang engineer profesional. Tapi ketika aku melihat diriku sendiri di cermin, aku merasa tidak senang dengan penampilannya. Aku membuat keputusan mendadak untuk mengganti pakaianku seluruhnya. Aku menggunakan baju hangat berbulu dengan banyak gambar kelici di atasnya, dan saat itu aku berpikir bahwa, apabila pewaraku menghakimiku karena aku menggunakan pakaian ini, maka orang itu bukanlah seseorang yang aku ingin bekerjasama dengannya. Tapi aku rasa aku tidak dapat melakukan hal tersebut ketika aku baru mengawali karirku. Di saat itu aku merasa aku tidak dapat mengambil resiko tersebut, sehingga aku rasa butuh pengalaman dan privilese untuk mencapai titik itu. Selain itu, aku rasa komunitas yang aku temui di media sosial membantuku untuk menjadi seseorang yang lebih otentik. Ketika aku membagikan hal personal, saat-saat di mana aku gagal, atau saat-saat di mana aku melakukan kesalahan, aku selalu merasa cemas untuk nge-*post* tentang hal itu, tapi kemudian aku selalu mendapatkan banyak respons yang sangat mendukung dan suportif dan pada akhirnya, aku selalu merasa senang aku tetap menjadi diriku sendiri.

K: Aku juga merasakan hal itu, aku selalu berpikir bahwa karena aku ada di industri teknologi, aku harus melebur dengan laki-laki supaya aku bisa hang out dengan mereka. Tapi di satu titik aku sadar bahwa aku harus jadi diriku sendiri, aku tidak ingin terlihat seperti engineer laki-laki. Jadi senang sekali untuk dengar dari orang lain bahwa kita harus mempertahankan apa yang kita percayai dan menjadi diri kita sendiri.

K: Kamu tadi menyebutkan tentang privilese dan akses. Seperti yang kita tahu, kesempatan itu kan tidak terdistribusi secara merata. Menurutmu, apa yang harus dilakukan oleh orang-orang dengan akses terbatas untuk “climb up the ladder”, apakah ada saran atau rekomendasi?

A: Aku rasa kebanyakan orang dengan akses terbatas yang aku tahu telah memberikan usaha yang terbaik. Apabila mereka mendapati kesulitan untuk “climb the ladder” aku rasa itu bukan kesalahan mereka, namun itu kesalahan dari masyarakat dan kapitalisme dan… itu semua adalah hal yang sistemik. Alih-alih memberikan saran untuk mereka yang menurutku sudah melakukan usaha yang terbaik, aku mempunyai saran untuk mereka yang mempunyai kekuatan dan privilese yang lebih. Apabila kamu sudah lebih mapan di karirmu, aku berharap kamu bisa menjadi relawan, mentor, atau berkontribusi ke organisasi-organisasi yang memberikan kesempatan lebih ke orang-orang marjinal, dan aku rasa membuat teknologi menjadi lebih mudah diakses untuk orang-orang tersebut adalah tanggung jawab kita.

K: Aku rasa itu benar sekali, dan itulah mengapa kami memulai podcast ini. Kami ingin menunjukkan kepada orang-orang tersebut bahwa banyak sekali kesempatan yang ada di industri teknologi sehingga kamu tidak perlu takut untuk terjun ke dalam dunia teknologi. Dan juga dengan mendapatkan saran dari orang-orang sepertimu, maka orang-orang yang baru saja memulai dapat merasa termotivasi ketika mendengar pengalamanmu. Terima kasih sudah mau membagikan ceritamu.

K: Oke, mari kita berbicara tentang Kartini. Menurutmu, apa yang bisa dilakukan oleh para perempuan hari ini untuk melanjutkan perjuangan Kartini untuk perempuan, khususnya di Indonesia?

A: Aku rasa jawabanku akan sama seperti jawaban terakhirku tadi. Kebanyakan perempuan yang aku tahu sudah melakukan yang terbaik, mereka sangatlah keren dan pekerja keras. Jadi, aku ingin menyarankan para laki-laki untuk melakukan lebih karena para perempuan sudah cukup melakukan yang terbaik. Para laki-laki harus bekerja lebih keras lagi dalam hal mendukung dan mempromosikan para perempuan yang mereka kenal, dan mereka harus percaya dan mendengarkan perempuan apabila mereka berbicara tentang seksisme yang mereka hadapi di tempat kerja. Para laki-laki juga harus melakukan sesuatu apabila mereka mendengar laki-laki lain membicarakan hal-hal yang seksis.

K: Apa yang bisa aku rangkum dari pembicaraan kita adalah, pertama, bukan hal yang tidak mungkin untuk mengombinasikan kreativitas dengan teknologi. Kadang-kadang ketika kita berpikir tentang teknologi, pikiran yang secara otomatis muncul adalah pikiran bahwa kita harus menjadi orang yang sangat logis. Namun, sebenarnya kreativitas juga sangat membantu, seperti apa yang kamu lakukan dengan zines yang kamu buat. Aku rasa zines tersebut akan sangat membantu mereka yang mungkin awalnya tidak begitu tertarik dengan teknologi, namun ketika mereka melihat penjelasanmu tentang bagaimana hal-hal tersebut bekerja, mereka akan lebih merasa termotivasi dan penasaran untuk belajar lebih banyak lagi tentang teknologi. Hal kedua adalah sangat penting bagi kita untuk mengelilingi diri kita dengan orang-orang yang positif dan mempunyai pemikiran serupa, yang dapat membantu kita untuk menjadi lebih otentik dan intensional dalam karya-karya kita. Aku pikir kita harus menjadi orang yang intensional dan kita harus mencari cara untuk melakukan apa yang ingin kita lakukan dengan cara yang realistis. Aku rasa aku mempelajari itu darimu, seperti misalnya harus mempunyai pengalaman dan kredibilitas sebelum ia memulai bisnis zine-nya. Hal itu sangat menginspirasi sekali. Satu lagi, penting bagi kita untuk membagikan vulnerability kita dan juga menjadi orang yang otentik, seperti apa yang dilakukan olehmu dengan proses pembuatan cincin Clipper Card-nya. Kamu membuka prosesnya ke banyak orang sehingga mereka dapat melihat permasalahan apa yang kamu temui di tengah-tengah prosesnya. Aku rasa sangat penting bagi orang-orang untuk melihat bahwa semua orang juga mengalami masalah. Jadi ya, aku pikir sangat penting bagi kita untuk menunjukkan vulnerability kita, dan juga penting untuk menjadi seseorang yang otentik.

K: Terima kasih banyak Amy sudah mau membagikan ceritamu, dan aku pikir kami belajar banyak juga. Ada kata-kata terakhir untuk para pendengar?

A: Aku akan senang banget apabila bisa lebih terlibat di komunitas teknologi dan upaya-upaya tech diversity di Indonesia. Aku datang ke Indonesia sekitar sekali setahun, jadi kalian bisa kasih tahu aku apabila ada komunitas-komunitas atau acara-acara.

K: Tentu, oke jadi aku rasa pembicaraan kita sampai di sini. Terima kasih Amy sudah mau berbagi inspirasi dengan kita hari ini, ini sangat berarti. Sampai jumpa.