Kiki (K): Halo semuanya, kita balik lagi di podcast Kartini Teknologi bareng Galuh dan Kiki di sini. Aku biasanya bilang Kiki dulu tapi sekarang bilang Galuh dulu. Karena tamu hari ini spesial, ini request-an-nya Galuh. Tapi sebelum bahas ke situ, aku pengen ini sih, kayak bahas tentang, apa ya, aku seneng banget sih kita udah di episode ke-8 sampe sekarang. Dan bahkan nggak kehabisan tamu gitu untuk diundang ke Kartini Teknologi. So, aku pengen makasih banget sama tamu-tamu sebelumnya dan yang sekarang juga karena udah mau diajakin ngobrol di Kartini Teknologi. Itu membuktikan bahwa sebenarnya Indonesia nggak kekurangan perempuan inspiratif gitu. Aku personally seneng banget sih kita bisa sustain sampe sekarang. Dan semoga bisa sustain sampe selanjutnya juga sih, sampe taun depan, sampe season-season berikutnya. So, hari ini kayaknya lebih sah kalau yang ngenalin Galuh kali ya. Galuh mau kenalin guest kita hari ini nggak?

Galuh (G): Oke aku kenalin dikit ya. Jadi guest kita hari ini namanya Velta. Dia temen aku, tapi menurut aku personally dia juga keren banget, kenapa? Karena meskipun istilahnya masih muda, tapi pengalamannya banyak banget di desain, UX, you name it, pokoknya dia udah punya banyak pengalaman di situ. Dan kita kan juga belum pernah bahas desain juga kan, sementara desain menurut aku juga merupakan hal yang penting banget sih di bidang teknologi karena pengalaman user itu kan juga sebenarnya dibentuk banget kan sama desain user experience yang ada. Jadi ini penting banget buat dibahas juga. Dari aku paling segitu aja, buat Velta silakan memperkenalkan diri, sekarang kerja apa, base-nya di mana, terus passion-nya apa aja. Silakan.

Velta (V): Halo-halo. Pertama-tama makasih banget udah diundang buat sharing-sharing ngobrol-ngobrol di podcast-nya Galuh sama Kiki. Jadi sekarang ini aku base-nya di Dubai, aku di sini jadi interaction designer buat salah satu perusahaan AI dan machine learning, Pigeonline. On the side aku juga jadi UX engineer freelance di Toptal, dan overall nature of work aku semuanya bisa dibilang full remote, jadi aku bisa kerja dari mana aja, dan di sini aku sebenarnya background-nya itu dari computer science. Itu belajar information technology terus kemudian di tahun terakhir aku pilih minor human-computer interactions atau user experience design.

G: Nah kamu kan lulus dari University of Queensland di jurusan computer science dan ambil minor user experience. Nah, sebenarnya kan kayaknya di Indonesia masih jarang atau bahkan nggak ada ya, ya nggak sih yang kurikulumnya khusus UX? Atau udah ada?

V: Kalau di Indo sendiri aku sebenarnya kurang tau, tapi kalau di sana sendiri, kalau untuk S1 kebanyakan itu ditawarin sebagai minors gitu, jadi kayak cuma specialize in UX. Tapi buat S2 banyak banget yang emang jurusannya udah bener-bener fokus true to interaction design. Dan untuk yang jurusan S2-nya interaction design dia tuh harus ngambilnya base-nya itu antara dia S1 nya information technology atau computer science atau information systems, pokoknya requirement untuk masuk interaction design atau HCI itu di Australia yang aku liat dia harus punya degree dari technology juga.

G: Berarti waktu kamu kuliah dulu belajarnya mata kuliah apa aja tuh?

V: Nah jadi ketika aku ngambil specialization di UX ini, course-nya yang aku ambil itu ada beberapa yang kayak digital prototyping, jadi nggak semuanya kayak cuma bikin mockups atau prototype yang kayak gitu, tapi kita juga diajarin untuk bikin suatu hal yang tangible gitu, yang orang-orang bisa interaksi secara literal, kayak misalnya kita bikin device buat ngajak orang-orang diskusi di suatu table, atau device yang bisa engage conversation di suatu conference gitu misalnya. Atau hal-hal kayak gitu. It’s quite interesting karena bisa dibilang UX atau UI/UX itu sebenarnya suatu bidang yang diverse banget, I would say semua orang dari background macem-macem itu bisa terjun di UX karena emang skill yang dibutuhin di UX itu adalah skill of empathy dan I think if you want to ace in UX, you can be a more empathetic person.

K: Aku jadi penasaran kan, kayaknya emang Velta tuh keliatan banget udah tertarik sama UX dari pertama kali milih distinction pas kuliah. Nah itu awal mulanya tertarik untuk ambil dan belajar tentang UX lebih dalam itu karena apa sih?

V: Oke, jadi tuh dari sejak kuliah sampe… jadi dulu pas aku kuliah dulu aku sempat kerja as in kayak part-time atau holiday work gitu selama kuliah. Dan itu tuh selalu jadi software engineer gitu. Dan pas itu aku lagi burn out banget, aku di satu sisi tuh ngerasa kayak lebih pengen nge-channel creative side-nya aku jadi aku mulai mikir gimana kalau misalnya supaya nggak burn out banget pas kerja—saat itu aku masih jadi kayak software engineer gitu—jadi aku pengennya pas aku sambil kerja, aku pengen kuliahnya tuh sesuatu yang membuat aku ngerasa fun. Jadi bener-bener setahun terakhir aku kuliah aku nggak ada programming sama sekali, nggak ada database and stuff jadi itu bener-bener full satu tahun terakhir itu diisi dengan human-computer interaction stuff dan itu ternyata fun banget. Dan habis lulus akhirnya aku coba apply jobs yang nggak ada hubungannya sama software engineering, which is berarti kan UX design gitu. Dan it turns out I really like it, apalagi pas kuliah itu mungkin ada kali tiap minggu disuruh bikin research atau tugas gitu, assessment yang memang related to these UX things gitu.

K: Terus kan kalau kita ngepoin profil kamu, kita liat kamu kan pernah jadi User Interface Architect, terus ada juga role sebagai UX designer, terus sekarang kan role-nya jadi Interaction Designer yah. Nah itu ada nggak sih perbedaan dari role-role itu tadi, atau sebenarnya sama aja cuma istilahnya yang berbeda?

V: Jadi kalau secara garis besar sih ya sebenarnya hampir sama. Cuma kadang-kadang kalau dia di belakangnya designer itu berarti dia kayak lebih fokus ke hal-hal yang nonteknikal. Ini kalau yang aku selama ini coba jalanin gitu. Dan secara job description dia emang nggak ada tuntutan untuk bikin wireframing with codes. Sedangkan kalau misalnya kayak UX engineer atau UX architect itu beberapa kali itu aku emang harus bikin prototype untuk frontend gitu, frontend design. Jadi paling itu aja sih key difference-nya. Tapi selama ini sih semua role itu kayaknya sebenarnya sama aja deh.

G: Terus kalau di pekerjaan yang sekarang sebagai interaction designer biasanya banyak tektokannya sama orang apa sih, apakah sama engineers atau I don’t know sama orang research, business?

V: Nah sebenarnya untuk role aku yang sekarang aku sebenarnya lebih sering banget tektokan sama engineer-nya gitu. Karena untuk user research dan segala macem itu aku juga yang ngelakuin, kayak kita ada workshops atau interview sama user kita dan ada juga accessibility check gitu karena di tim aku ada orang yang emang literally kerjaannya ngurusin accessibility, dan jadi itu fun banget karena di situ kita bener-bener bisa brainstorming tentang apa produk yang bakal kita buat sendiri ataupun kerjain untuk klien.

G: Berarti biasanya requirement-nya dateng dari mana? Apakah dari ide kamu sendiri atau ada request atau dari atasan atau dari ngomong bareng-bareng?

V: Jadi kalau misalnya requirement sendiri biasanya client udah punya sets of user stories atau fitur-fitur yang mereka pengen bikin. Kayak dulu client udah dateng dengan vision in their mind dan tugas kita di situ sebagai, let’s say contractor atau orang yang ngerjain itu biasanya lebih ke coba validate gitu, validate ideas itu dan emang mungkin main function dari UX sendiri itu kan untuk testing dan validate dan testing dan validate again through several iterations, jadi ya menariknya seberapa banyaknya pun requirements yang klien udah punya, pada akhirnya yang membuktikan itu data kita, kita punya sebagai testable hypothesis gitu yang kemudian kita present ke klien dan result-nya bisa mereka liat sendiri dan kemudian mereka pertimbangkan dari segi bisnis, dari segi marketing, dan banyak hal lainnya gitu.

G: Aku jadi penasaran deh, tadi yang dimaksud dengan validasi dan testing itu dalam bentuk apa sih, cara ngetesnya itu kayak apa sih?

V: Jadi kalau misalnya di berbagai proyek itu ada yang namanya metrics gitu. Metrics itu tuh biasanya tergantung sama project-nya sendiri. Let’s say misalnya itu adalah sebuah digital product. Dan itu nggak selalu produk yang kayak web, kayak app. Kadang-kadang kalau dulu di agency aku, karena agency aku kita brand dan marketing, jadi kita tuh beberapa kali ngelakuin semacam tes market terhadap, let’s say kayak experience di airport atau boarding gates. Jadi metrics itu bisa macem-macem, bisa kayak speed, success rate, itu bisa kayak luas banget.

K: Kamu kan tadi background-nya sebenernya teknikal. Menurut kamu sendiri, penting nggak sih sebagai seorang desainer untuk punya technical aspect atau pengetahuan tentang teknikal untuk menunjang karir kamu sebagai desainer, atau sebenarnya itu nice to have aja? Menurut kamu gimana?

V: Kalau menurut aku sih… mungkin ya, karena beberapa hal, kayak misalnya kamu jadi motion designer atau interaction designer, kadang kamu punya vision untuk bikin, let’s say, hal-hal keren gitu yang sebenernya tuh mungkin aja doable, tapi karena kamu mungkin blindsided sama kayak hal-hal teknikal yang berat banget di developer-nya atau bakal berat banget di sprint itu, itu bisa menjadi hal yang membebankan. Lagi-lagi yang penting menurutku lebih ke komunikasi sih kalau UX itu, karena kadang-kadang kita nggak ngerti technical aspect dari suatu challenge yang lagi kita coba tackle, tapi ketika kita komunikasiin sama tim kita, akhirnya kita bisa ngerti dan bisa saling compromise. Jadi menurutku dibanding technical spec lebih ke komunikasi dan awareness aja sih.

K: Terus, ngomongin tentang workflow nih, kalau kamu kerja tuh biasanya tahapannya gimana aja sih, dari mungkin kamu setting requirements sama klien terus sampai hasilnya… sampai akhirnya menghasilkan sebuah deliverable itu prosesnya gimana?

V: Ini biasanya tergantung jenis project-nya sama tergantung kliennya. Kalau buat internal sendiri tuh biasanya kita kayak… kita nge-custom Google design sprints gitu, jadi ada kayak framework dari Google, itu untuk bikin digital prototyping, di mana di ujung workshop tersebut kita bakal punya sebuah working product yang bisa kita tes langsung gitu dengan stakeholder yang udah ada di situ. Jadi itu adalah… I think it’s a great way to actually make people participate in our brainstorming session, salah satu cara yang sebenarnya menurut aku… yang tadi, testing your validation and real quick, karena setiap design sprint selesai kita biasanya udah tau, oh fitur ini bakal ada, functionality ini bakal make sense, gitu-gitu aja sih.

G: Terus boleh cerita-cerita nggak project apa aja sih yang paling menarik yang pernah kamu kerjain dan kenapa?

V: Jadi sekarang sih aku lagi ngerjain platform underwriting buat insurance company di US. Dan itu tuh menarik buat aku karena pertama, aku nggak pernah kenal dunia insurance gitu. Aku nggak tau underwriting itu proses yang kayak gimana secara flow-nya. Jadinya sangat menarik buat aku karena ini bener-bener bikin aku belajar tentang hal baru, dan yang kedua itu dia udah ngebawa bener-bener set of design guidelines yang mereka punya sendiri, jadi emang menariknya gitu sih. Sama aku juga sekarang lagi banyak ngerjain proyek e-government, karena Dubai sekarang lagi menuju hal-hal yang e-government gitu, untuk actually make things efficient, terus juga mereka emang bener-bener lagi invest banget di technology, kayak mereka udah invest di AI juga untuk search engine mereka, dan kali ini aku juga lagi ngerjain project untuk orang-orang government untuk nyari talent di GCC countries.

G: Biasanya kan kalau bikin aplikasi, mesti paham konteksnya gitu nggak sih? Nah itu biasanya kamu belajarnya, apakah belajar sendiri, atau ada sesi khusus sama klien untuk mempelajari itu?

V: Jadi sebelum project kickoff kita kayak ada interview tiga kali sama tiga underwriters berbeda, dengan user experience beda-beda, dengan demografik yang berbeda, ada yang kerja remote, ada yang emang selalu stay di kantor, dan itu bener-bener insightful banget sebagai orang yang merancang platform tersebut, karena I can totally ask any questions that I have in mind, dan aku juga ada research di tempat-tempat lain, kayak baca-baca handbook manual mereka dan coba ngertiin dari segi requirement klien, kayak apa aja dan jadinya aku punya vision yang sama.

K: Terus aku pengen tanya tentang tools sih. Biasanya tools yang dipake sehari-hari apa aja sih?

V: Kalo tools sendiri, sebenernya dulu aku pake Sketch. Tapi Sketch is only available in Mac. Sekarang udah mulai convert semua desainnya ke Figma, karena menurutku Figma lebih gampang aja, lebih handy. Kamu bisa buka di browser, terus orang kalau nggak punya account tetap bisa view prototype-nya dan itu handy banget buat klien. Sebenarnya di company aku kita nggak ada cloud sama sekali, kayak kita semuanya emang bener-bener rada ketat banget, dan kita lagi nyari platform yang bisa pake SSO gitu. Dan selain Figma sih paling Framer untuk prototype yang gerak-gerak gitu kayak motion design gitu, and I think that’s it. Figma, Framer. Karena kan dulu biasanya orang pake Zeppelin kan untuk developer handover, jadi kayak kamu ngasih font-nya berapa, *font-size-*nya berapa, heading-nya berapa, font family-nya apa aja. Dengan Figma kamu nggak perlu ngelakuin spec out semua design elements kamu, so it’s more handy that way.

G: Sekarang udah bener-bener butuh Figma doang ya mainly?

V: Iya karena dulu tuh aku sempet kayak pake Invision, jadi ada tiga tools berbeda gitu, Invision atau Marvel biasanya, Zeppelin yang buat handoff, Sketch. Tapi sekarang aku pake Figma aja buat ngelakuin tiga hal itu.

K: Kayaknya Figma populer banget ya di kalangan desainer. Terus, tantangannya apa aja sih sebagai seorang interaction designer selama ini?

V: Kayaknya lebih ke yang tadi aku bilang sih… walaupun kamu tipe orang yang, let’s say, berkomunikasi sama tim, terkadang it’s a little bit hard to delegate what you mean, especially when you don’t have data atau evidence untuk nge-backup itu. Sebenernya lebih ke, sometimes, menurut aku ya, desainer itu punya ego sendiri, I want it that way, I want it this way. Cuma, untuk nge-delegate-nya ke stakeholder yang lain, you’re just a piece of this whole thing yang working together towards something gitu kan. Kayak di situ tuh emang mesti banyak banget compromising, dan bisa speak out your mind out loud, if that makes sense. Lebih ke komunikasi sih. Apalagi kalau kamu kerja remote, kan. Karena paling the only way you can talk to your team is through conference call kayak gini.

G: Kalau tadi misalnya butuh di-backup sama data gitu, biasanya kamu dapetinnya dari mana sih buat convince orang atau nge-backup argumen kamu?

V: Bisa beberapa hal. Biasanya kalau aku sendiri bisa lewat result dari user interview, atau accessibility stuff yang sekarang kita emang coba lagi tackle banget karena it’s a very important thing, tapi di tim kita itu emang sesuatu yang lagi di-establish banget, lebih ke kayak gitu.

G: Ngomong-ngomong accessibility, accessibility emang penting banget kan, tapi aku nggak tau sih kayaknya di Indonesia itu masih jarang ada yang bahas tentang itu, bisa jelasin nggak apa sih accessibility itu dan why it’s important?

V: Jadi kalau di tim aku sendiri, we are aware that our users are not as close as you think it is. Kayak kita nyadar, yang aku bilang di awal, untuk jadi designer atau jadi orang yang kerja di tech kita harus punya sisi empati yang tinggi, karena nggak semua orang diciptakan dengan let’s say budaya yang sama, latar belakang yang sama, atau privilege dari segi fisik yang sama. Jadi kita emang coba mencakup hal-hal yang secara general bisa kita lakuin. Kayak di negara Arab sendiri, let’s say gitu yah, kita mau bikin platform untuk government. Kita juga harus aware bahwa local language mereka itu beda sama kita, jadi kita harus siap-siap kayak RTL, kayak gitu-gitu. Itu sesuatu yang, kayak misalnya kita mau bikin copywriting di button, sesimpel kita mau bikin tulisan button tulisannya click here, kita harus mikir apakah kalau dalam Bahasa Arab it will look as pretty as that atau kayak gimana. Itu menurutku sesuatu yang, bener banget sih, banyak orang yang nggak aware tentang isu accessibility ini. I was one of them until someone tried to educate me just how important it is. And I think it’s the most important. Karena kalau misalnya kita bikin platform atau sistem yang nggak bisa mencakup orang-orang ini, I don’t think there’s a point on actually building one.

G: Bener banget sih. Aku juga dulu mikir awalnya pas masih naif oh yang penting desain bagus doang. Terus mikir oh yang penting pengalaman user-nya itu… kita bisa bawa user dari poin A ke poin B. Tapi kalau dipikir-pikir, desain kita nggak aksesibel, bahkan user buat ke poin A itu aja belum tentu bisa kan. Dan jadi makin liat bahwa it’s probably the most important thing out of all the things you have to consider.

V: Apalagi kayak… let’s say kalau dulu ya sesimpel milih warna, aku nggak mikirin kayak contrast ratio-nya gimana, sementara beberapa orang yang kayak buta warna parsial, itu bisa signifikan banget gitu keliatan di mereka to actually access that program.

K: Kamu belajar accessibility itu dari kuliah atau pas udah terjun di industrinya?

V: Nah, sebenarnya pas aku kuliah itu nggak ada course Accessibility. Pas aku pindah kerjaan yang sekarang ini, salah satu teammate aku, dia kayak bikin workshop gitu dua minggu sekali untuk ngomongin Accessibility, karena ternyata dia ambil course Accessibility di Kanada, dia kayak coba get us to take the certification ourselves, dan karena itunya online, jadi kita bisa sambil kerja, sambil istirahat kita bisa coba belajar dari situ.

G: Kalau buat accessibility sendiri ada semacam guideline-nya gitu nggak sih, kayak misalnya kalau warna harus kayak gini?

V: Jadi beberapa hal tuh kayak misalnya paragraf body nggak boleh kurang dari 14px, atau kalau heading berapa. Tapi… ini udah kayak marketing Figma gitu. Di Figma itu ada plugins gitu sekarang, dan plugins ini handy banget soalnya dia ada plugin buat accessibility jadi kamu nggak harus nge-audit satu-satu, dia bakal automatically edit your designs, jadi kamu tinggal install plugins-nya terus tinggal run gitu di prototype-nya. Nanti dia kasih tau, oh ini font-nya kurang besar, oh ini paragraf spacing. Kadang kan kita juga luput ya kalo audit manual.

K: Menarik yah. Buat temen-temen yang tertarik meniti karir yang sama sebagai interaction designer, itu kira-kira mereka perlu apa aja sih? Perlu belajar apa aja atau mungkin ngumpulin portfolio atau internship di tempat yang kayak apa sih?

V: Kalau aku sendiri mulai dari… waktu project kuliah itu aku sering semacam project untuk klien, dan menurutku itu berguna banget ya untuk portfolio dan references kamu juga bagus. Dan let’s say kamu belum bisa take internship atau belum bisa coba pake klien yang beneran, kamu juga bisa mulai dari personal project sendiri. Kayak sekarang kan banyak banget ya komunitas-komunitas maker kayak ProductHunt, atau Shipstreams, atau Makerlog gitu. Merekanya biasanya bikin semacam 24 hours startup or something, jadi tuh nggak harus real startup tapi kamu bisa bikin project kamu sendiri, and I think it’s a great way to actually start and getting recognition from the community. Nanti abis itu baru, kalau udah pede dan enjoy sama project-project lain kamu bisa ambil internship dan klien beneran untuk nambah portfolio. But I think kalo untuk interaction design emang harus banget pake portfolio. Aku saranin kalau emang kamu bukan orang yang pengen dan suka ngoding customize portfolio dari scratch, kayaknya kamu mending pake provider kayak Squarespace, Wix, atau Adobe Portfolio, just because it’s easy to set up and kamu bisa beli your own domain.

K: Kalau kamu pertama kali dapet job di bidang UX itu gimana ceritanya?

V: Em… itu dulu justru sebelum aku ambil UX di kuliah. Kayak dulu tuh aku sempet intern di Singapore gitu jadi UX designer, dan itu tuh aku waktu itu pedenya sih ya aku pake project-project yang pernah aku bikin sendiri, yang kayak aku ngeredesain bioskop 21 di Indo gitu-gitu. Jadinya saat itu aku submit karyaku. Tapi waktu itu masih berupa pdf bukan online. Waktu itu aku interview, kemudian aku ada tes project gitu, dan pas tes project-nya oke, langsung aku kerja untuk jadi UX design intern gitu. And that was actually the very first time.

G: Aku jadi keinget, tadi Velta nyebutin komunitas kan. Ada nggak sih komunitas-komunitas yang Velta ikutin dan kira-kira manfaat apa sih yang didapet dari komunitas yang diikutin?

V: Jadi aku di sini ada kayak meetup Interaction Design Associate gitu, sebenarnya itu worldwide sih gerakannya tapi di sini kebetulan dia ada chapter Dubai gitu. Aku sih sebenarnya suka karena mereka suka adain workshop-workshop kayak gimana cara bikin user persona, sharing-sharing kerjaan, sama networking sih. Karena latest job yang sekarang ini aku dapet dari networking gitu bukan formal applying and stuff. Jadi ya itu sih manfaatnya lebih ke networking dan knowledge sharing. Tapi ya seperti komunitas-komunitas lainnya yang kita kadang-kadang ngerasa impostor syndrome, kadang juga mereka bisa showcase skillset yang mereka punya tuh X, Y, Z, jangan discouraged, saran aku sih jadiin itu lebih ke motivasi dari pada something that brings you down. Soalnya aku awal-awal kayak gitu.

K: Terus menariknya kamu kan pernah kerja di 4 negara yang berbeda. Dan itu kalau boleh diceritain, ada pengalaman menarik selama kamu kerja di keempat negara tersebut nggak?

V: Jadi selama ini kan kerjanya yang sesuai dengan bidang dan degree aku. Tapi aku pernah sekali kerja ngajar gitu di Aussie, dan itu ngajak anak kecil gitu. Dan menurutku itu lebih ke sesuatu yang eyeopening aja sih. Soalnya pas selama di Aussie, waktu aku jadi software engineer, di kantorku satu floor itu bener-bener semua yang kerja technical itu cowok. At first it was intimidating because I thought aku ngerasa kurang pede gitu, dan aku coba cari summer job dan summer job itu ngajar anak kecil di sebuah rural area di Birsbane dan sama aja I was also the only woman there. Tapi menurutku itu sesuatu yang… eyeopening-nya adalah, if you can stand up for yourself, it’s all right gitu. Kayak yang tadi sih, kalau misalnya kamu ngerasa diri kamu bukan yang mayoritas gitu kadang-kadang itu bisa discouraging banget, dan sekarang aku jadinya mayoritas kan jatohnya di Dubai. Tapi tetep aja. Aku ngerasa itu lebih ke mentalitas aja sih dibanding environment atau negara yang aku datengin.

K: Kamu tadi bilang kamu ngerasa discouraged gitu kan karena merasa sebagai perempuan yang notabene perempuan di antara kalangan temen-temen yang lain di software engineer. Nah kamu mengatasinya gimana sih sebagai perempuan, dan sampai sekarang masih ngalamin juga nggak?

V: Kalau sekarang nggak, karena balik lagi aku kerjanya remote, jadi sebenarnya aku nggak ketemu siapa-siapa. Tapi kalau dulu kerasa banget, karena dulu kan aku pas intern di sana itu aku harus dateng kan tiap hari, nggak bisa yang work from home. Cara aku mengatasinya sih, bergaul sama mereka sih. Bergaul kayak biasa, aku mungkin emang tipe orang yang lumayan gampang deket sama orang, dan ketika aku udah deket sama orang aku udah nggak ngerasa orang itu mencoba mengecilkan aku atau mengecilkan skill aku. Cuma itu kerasa banget sih sebenernya, lebih ke di kerumunan cowok-cowok itu.

K: Kayak try to fit in gitu nggak sih kalau kita di lingkungan gitu rasanya? Karena aku sendiri juga sebenarnya ngalamin. Jadi kan dulu sempet jadi programmer juga dan jadi female software engineer yang pertama masuk di perusahaan itu. Jadi kayak ngerasa, gue harus nge-blend nggak sih sama cowok-cowok yang lain ini? Jadi ngerasa kayak gitu, harus menyamakan diri dan berbaurlah sama yang lain. Oke. Kamu kan tadi mention tentang working remotely kan yah. Itu berapa lama sih kerja remote?

V: Aku sebenarnya kerja remote ini baru ya dari awal tahun, Maret? Maret 2019 sampai sekarang, karena tim aku itu sebenarnya headquarter-nya di Kanada. Jadi sebenarnya mereka baru bikin hub di sini, dan aku employee pertama yang mereka hire di UAE. Karena sebenarnya investor yang mereka dapet itu based in UAE dan investor itu nge-require, kalau kamu mau seed round atau serie A dari kita kamu harus punya employee yang stay di sini, lebih kayak gitu. Jadi… kalau dibilang sih sebenarnya aku suka sih kerja remote di Dubai, karena tanpa aku sadari di Dubai ini banyak banget yang kerja remote. Itu salah satu yang aku sadarin sih.

K: Ada komunitasnya nggak?

V: Iya, jadi sebenarnya aku join kayak coworking space, tapi ini bukan kayak coworking space yang kamu bayar bulanan terus kamu dateng ke tempat yang sama dan lain-lain, ini tuh kayak lepas gitu jadi banyak venue-nya, kamu bisa pilih mau check-in di mana aja dan itu udah included di membership kamu gitu. Dan di app-nya tuh suka ada community meetups, sama di situ kita juga bisa tau, misalnya kita di venue A, kita bisa tau ada berapa member yang check in di venue yang sama. Kalau komunitasnya sendiri, aku nggak join banyak komunitas selain yang Interaction Design Associate itu. Tapi aku ada kayak komunitas Elpha gitu, walaupun dia bukan based in Dubai, tapi dia ada meetup juga buat temen-temen yang kerja remote di Dubai. Dan ternyata itu juga banyak banget. Karena Dubai itu kan kalau liat di Instagram banyak juga yang jadi social media influencer atau digital marketing gitu, dan biasanya mereka kerjanya di coworking space atau kafe gitu-gitu.

K: Nama coworking space-nya kalau boleh tau apa sih? Kayanya seru banget.

V: Namanya Let’s Work. Itu emang dari sini, lokal gitu.

K: Berarti cuma ada di Dubai ya?

V: So far iya, so far aku taunya cuma ada di UAE, ada di Abu Dhabi gitu-gitu. Tapi cuma ada di UAE sih.

K: Selama ini yang paling menyenangkan dari kerja remote apa sih?

V: I can do meetings in my sweatpants. Aku kan punya hobi masak gitu, jadi aku gampang buat make excuses kayak pas meeting sambil masak atau sambil makan. Tapi trade-off nya adalah kadang-kadang… aku nggak tau sih mungkin orang lain juga ngerasain hal ini, kadang aku ngerasa terlalu isolated di rumah dan lain-lain. That’s why aku join Let’s Work ini karena aku kayak dipaksa untuk ketemu orang gitu, dan nggak bener-bener di rumah terus.

K: Itu sama sih sama yang kita bahas sama tamu kita sebelumnya, Kak Alanda. Dia kan juga kerja remote, dan dia juga bilang gitu, jadi ngerasa terisolasi nggak punya kehidupan selain di rumah, udah gitu kan dia punya anak, susah banget ketemu sama orang baru. Aku juga ngerasa gitu sih, kayak… kayaknya itu sih yang paling menyedihkan dari kerja remote, pas sepi aja. Dan itu bener-bener berasanya pas kita ngalamin sendiri, padahal dulu tuh mikirnya kayak, wah kerja remote pasti menyenangkan. Ternyata ada downside-nya juga.

V: Paling itu aja sih, kadang we spend too much time at our home, sampai-sampai kita tuh, kalau aku pernah baca orang yang juga remote work selama 8 tahun kita lupa switch off atau log off dari kerjaan kita atau kerjaan yang kita kerjain di depan laptop.

K: Kamu sendiri biasanya gimana tuh ngatur waktunya?

V: Nah, I’m still learning how to do it, but I think I’m getting better at it. Jadi kalau aku bisanya aku udah tetapin aku kerja jam 11, selesai jam 6 atau 7. Terus aku abis itu… in between aku biasanya udah punya schedule sendiri gitu, walaupun aku nggak kerja di kantor, tapi aku punya schedule yang sama seperti waktu aku di kantor.

K: Kalau meeting gitu gimana? Kan, tadi katanya HQ-nya di Kanada kan? Ada meeting sama tim di Kanada gitu nggak sih? Dan itu kan pasti ada time difference-nya kan? Gimana tuh?

V: Kanada tuh sebenarnya tricky banget sih, even untuk timezone Dubai itu tricky banget. Soalnya untuk schedule meeting jam 4 di Dubai itu, berarti jam 8 pagi. Jadi emang bener-bener kalau ada meeting memang sesuatu yang udah disepakati bareng-bareng, dengan timezone yang bareng-bareng. Jadi kadang-kadang mereka yang berkorban, kadang aku yang berkorban, kadang-kadang ada juga kan kita ada kantor dan temen di London, dan itu bisa mereka juga yang berkorban.

K: Saling compromise-lah ya satu sama lain. Terus kamu kan sebenarnya remote working ya dari Dubai. Ada kepikiran kembali ke Indonesia nggak?

V: Maksudnya untuk kerja balik ke Indo atau kayak balik as in for good gitu?

K: Untuk balik mungkin untuk stay balik di Indonesia?

V: Aku kepikirannya someday I will, just not in like, maybe the near future, tahun ini mungkin nggak.

K: Berarti kontrak kamu sekarang ini emang base-nya di Dubai ya?

V: Iya, karena seperti yang aku bilang tadi, investor kita itu adanya sebenarnya di UAE, jadi mereka require orang untuk di sini gitu.

K: Terus ngomongin tentang Toptal. Kayaknya menarik sih, karena Toptal sebenarnya kayak ini nggak sih, kayak Upwork?

V: Iya, cuma dia tuh, aku nggak tau sih kalau Upwork itu mekanismenya abis di-verify kamu bisa langsung apply-apply atau gimana. Tapi kalau di Toptal sendiri tuh, dia flow-nya kamu ada interview gitu. Paling cepet interview-nya bisa selesai 3 minggu. Dan itu menurutku paperwork-nya banyak banget, ada legal documents gitu-gitu. Dan biasanya tuh kamu tanpa harus apply jobs kadang-kadang kamu di-matching-in gitu sama kliennya. Dan di situ kalau aku nggak salah kamu juga bisa nego rate kamu gitu, sama mereka lebih discreet gitu karena setiap kali kamu meeting, kamu mau komunikasi sama klien, kamu harus sign NDA bahwa kamu bakal pake platofrm-nya Toptal ini untuk actually komunikasi sama klien kamu.

G: Karena kalau di Upwork gitu-gitu suka ada yang ujuk-ujuk deal-nya di luar Upwork, kayak gitu kali ya?

V: Mungkin lebih ke breach kontraknya gitu sih.

K: Kalau di Toptal itu bayar nggak sih? Kalau kita sebagai yang nyari kerja gitu.

V: Nggak. Tapi kalau kamu klien, kamu harus place deposit gitu, kayak 50% dari total budget yang kamu punya untuk nge-hire orang ini. Karena biar secure semua payment juga mereka yang handle.

G: Interview itu berarti interview sama pihak Toptal-nya atau interview sama klien, jadi tiap ada klien baru interview?

V: Nah good question. Jadi kalau di Toptal itu, interview yang 3 minggu itu cuma interview untuk bisa ke-list, dapet listing di Toptal sebagai Toptalers-nya gitu. Setelah itu, untuk kliennya sendiri, antara kamu di-matching-in sama recruiter-nya atau kamu apply-apply to jobs di portal yang kita punya gitu. Tapi abis itu pun kamu harus ada sekali atau dua kali interview client facing gitu.

G: Even itu setelah di-matching-in sama recruiter?

V: Bener banget. Dan itu tuh nggak cuma kamu doang yang di-propose, misalnya di-matching-in sama klien A itu bisa ada tiga atau empat orang lainnya yang sedang ada interview juga dengan klien tersebut.

G: Terus itu bisa ngerjain lebih dari satu job at the same time atau cuma boleh satu doang?

V: Jadi nggak ada limit gitu berapa project atau klien yang kamu ambil, tapi di profile kamu harus specify gitu, jadi setiap kali kita mau apply for jobs, kita harus ngisi semacam “kamu availability-nya dalam seminggu tuh berapa jam?” 40 jam kah? Itu maksimal ya, 40 jam, kalau lebih kamu harus email gitu, email orang sistemnya untuk naikin limit kita. Atau 20 jam per minggu, atau maunya dibayar per hour gitu.

G: Nah aku jadi penasaran. Berarti kamu ada kerjaan sebagai interaction designer di Pigeonline. Terus juga di Toptal ada. Nah itu ngebagi waktunya gimana sih, kapan ngerjain kerjaan yang di Toptal?

V: Nah sebenarnya itu enaknya remote work sih. Karena sometimes kalau di kantorpun, kayak misalnya kerjaan yang 5 jam bisa kamu kerjain 7 jam karena kamu pengen take your time dan lain-lain gitu kan. Mungkin enaknya remote work karena kamu nggak ada micromanagement gitu-gitu jadi lebih enak ngerjain hal-hal without... sesuai sama kapasitas waktu yang kamu punya. Soalnya kan ada beberapa project yang emang sebenarnya bisa diselesaikan dalam let’s say 2 minggu doang, atau 6 minggu, atau 3 minggu gitu. Dan aku ngasih acknowledgement ke company aku yang sekarang kalau aku udah dari dulu ada di Toptal. Cuma di Toptal sendiri kita bisa off-in matching dan request gitu-gitu, jadi kalau kita pengen take a break kita bisa langsung.

K: Seru banget ya Toptal, kayaknya orang-orang lokal belum banyak yang pake sih, kebanyakan masih pake Upwork.

V: Di Toptal juga, kliennya itu kebanyakan emang pengen nyarinya yang timezone-nya maksimum kayak 4-5 jam overlap dari timezone US. Kayaknya itu juga sih salah satu alasannya, karena mereka biasanya pengen orang yang let’s stay udah standby di US nya atau timezone-nya nggak jauh dari mereka. Karena kebanyakan aku liat kliennya US-based gitu.

K: I see, jadi optimized-nya emang ke orang-orang US ya. Mungkin itu juga kenapa nggak populer di lokal. Any last word untuk para pendengar kita?

V: Menurut aku yang pertama, don’t feel discouraged, soalnya belum tentu orang yang kamu ngerasa jiper terhadap orang itu, terus dia lebih jago dari kamu itu belum tentu. Dan always ask questions, no question is a dumb question, karena menurutku ketika kamu bertanya sesuatu, kamu bisa spark diskusi di antara tim kamu atau temen-temen kamu dan itu lagi-lagi menurutku komunikasi itu adalah hal yang penting, karena dengan itu kamu bisa tahu hal-hal apa aja yang sebenarnya kamu nggak tahu dan bisa jadi orang lain ini juga nggak terbuka dengan hal itu. Kayak misalnya, kalau temen timku yang sekarang nggak coba buka mata aku dan tim yang lain tentang aksesibilitas, mungkin jalan aku bakal lebih panjang lagi untuk aware tentang hal tersebut. Jadi ignorance is not always a bliss. Tapi ya, tetep harus dikomunikasikan. Sama ini sih, remote work is not always glamorous, because it’s not for everyone juga, menurutku gitu.

K: Oke kalau gitu, terima kasih banyak ya Velta ngobrol-ngobrolnya, seru banget sih ini ngebuka mata tentang gimana kita kerja bareng desainer, tentang remote working juga.

V: Thank you so much!